Strategi-Taktik Gerakan dan Kaderisasi
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
I. Perubahan Geopolitik Global
Globalisasi merupakan
fenomena empat hal. Pertama, etno-scape adalah orang modern yang terus
menerus memperbaharui kemodernannya dengan cara mendatangi etnis yang
menurutnya terbelakang. Kedua, capital-scape
adalah perputaran uang pada ranah global sehingga uang itu sendiri tidak
memiliki “kewarganegaraan” lagi. Ketiga, ideo-scape,
artinya ide yang dapat melewati batas trans-national. Sebagai contoh,
gejala terorisme yang ada di Timur Tengah dapat merembet ke Indonesia. Keempat,
media-scape yang mendorong dan mengkonstruksi pemikiran kita. Saat ini
kita tidak dapat membendung arus informasi yang semakin kuat pasca adanya teknologi, seperti internet. Konsekuensi dari globalisasi adalah ancaman
perang asimetris.
Asymetrical
warfare
(perang asimetris) mulai dikenal dalam perang Franco-Spanish pada tahun 1823,
dan sekarang semakin dianggap sebagai salah satu komponen utama dari peperangan
generasi keempat (fourth generation warfare) yaitu perang atau konflik ditandai oleh kaburnya batas antara
perang dan politik atau antara tentara dan sipil, dengan ciri menonjol dari
peperangan ini adalah melibatkan dua aktor atau lebih, dengan kekuatan yang
tidak seimbang yang mencakup spektum peperangan yang sangat luas. Kerajaan
Belanda mempraktekan peperangan asimetris ini ketika menjajah Indonesia dengan
menjalankan politik devide et impera atau politik pecah belah yang
merupakan kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara
memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah
ditaklukan dan mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah
kelompok besar yang lebih kuat sehingga mampu memerdekakan diri.
Perkembangan mutakhir dari asymetrical warfare ini terlihat jelas dalam kasus Arab Spring[1]
di mana sepeninggal rezim-rezim mapan terpecahnya masyarakat yang menolak
dikuasai satu sama lain. Mengkristalkan konflik horizontal berdasarkan aliran
keagamaan, ideologi, etnik, atau klan. Melalui
Arab spring, destabilisasi dan ketidakbersatuan, negara-negara kuat-lama berkehendak mempertahankan hegemoni dan dominasi atas pasokan minyak.
Setelah menggunakan taktik hard power (invasi) berhasil di Afghanistan dan Irak maka langkah
berikutnya adalah dengan menggunakan soft power yang menggunakan berbagai kelompok LSM untuk menggalang
gerakan sosial menumbangkan rezim. Jika upaya damai terhambat maka langkah
berikutnya adalah dengan memberikan donasi, suplai senjata, mengaktifkan para pelarian di luar negeri, dan melegitimasi pihak oposisi sebagai
perwakilan resmi negara.
Terjadi juga perebutan pengaruh kawasan di Jalur-jalur perdagangan
dan kawasan sumberdaya alam antar kekuatan ekonomi besar dan aliansinya. Hal
ini misalnya dapat dilihat dari ketegangan di Selat Hormuz (Teluk Persia). Bisa
dibayangkan jika meletus peperangan di Teluk Persia, maka distribusi 40% minyak
dunia ke berbagai belahan bumi dari Teluk akan macet, dan sebagai dampak
langsung ialah naiknya harga-harga barang dan jasa akibat melambungnya harga
energi karena kelangkaan. Inilah hikmah yang dapat dipetik, betapa tinggi
urgensi sebuah selat bagi geostrategi banyak negara. Perebutan pengaruh ini
juga terlihat di negara-negara sekitar Selat Malaka yang menjadi jalur perairan
tersibuk (di dunia) setelah Selat Hormuz di Teluk Persia. Keberadaan tersebut
membuat Selat Malaka dijuluki chokepoints of shipping in the world
baik untuk ekspor-impor, sosial politik, keamanan, lingkungan maupun militer
dan lain-lainnya. Data Kementerian Pertahanan menyebut, sejak tahun 1999-2008
kapal-kapal yang melewati Selat Malaka meningkat 74% dan era 2020-an
nanti prakiraan hilir mudik pelayaran mencapai 114.000 kapal. Menurut Goldman
Sachs, kelompok negara yang bakal menguasai perekonomian tahun 2050 kelak adalah
Brasil, Rusia, India dan Cina (BRIC), terutama sekali Cina dan India yang
paling aktif melintasi baik Selat Malaka, Selat Sunda, maupun Selat Lombok. Bagi Indonesia sendiri, selain Selat Malaka atau
selat-selat lainnya, tampaknya Selat Sunda tergolong sebagai lintasan utama
dalam konteks pelayaran dunia, terutama di lingkungan Asia Tenggara, ASEAN dan
kawasan Asia Pasifik. Lebih utama lagi, kevitalan Selat Sunda, adalah pelayaran
dari Laut China Selatan menuju Lautan Hindia.
Dalam konteks geopolitik global yang juga perlu dicermati
adalah terbentuknya organisasi-organisasi kerjasama baru. Pertama, terbentuknya
BRICS. BRICS merupaka akronim dari Brazil, Russia, India, Cina, dan disusul
Afrika Selatan (South Africa) yang didirikan di Yaketirinburg, Rusia pada tahun
2009. Kumpulan negara industri baru (new
industrial countries) yang semula terkategorisasi sebagai underdevelopment atau third world ini pada tahun 2012 mewakili
40 persen populasi dunia, 25 persen daratan, 20 persen GDP, dan mengontrol 43
persen cadangan devisa global. Kelompok ini bermula hanya fokus pada situasi
peningkatan ekonomi dan reformasi institusi keuangan global. Belakangan
orientasi BRICS sudah bergeser, sebagaimana dikutip dari pernyataan Presiden
Cina, Hu Jintao, baru-baru ini bahwa BRICS merupakan penjaga dan
promotor bagi negara-negara berkembang dan sebagai kekuatan perdamaian dunia.
Tampilnya negara-negara BRICS menjadi kekuatan besar ekonomi
dunia berdampak pada peningkatan anggaran pertahanan. Situs europiangeostrategy mengklasifikasi Cina
sebagai potential superpower di bawah AS yang masuk
sebagai superpower, Rusia dan India
sebagai great power di tingkat
regional, dan Brazil sebagai middle power.
Berdasarkan kekuatan ekonomi dan pertahanan maka BRICS memiliki daya tekan yang
luar biasa dalam isu-isu ekonomi dan keamanan dunia.
Kedua, terbentuknya Shanghai Cooperation Organization
(SCO). Organisasi kerjasama keamanan ini semula bernama Shanghai Five yang
didirikan pada tahun 1996 di Shanghai, Cina. Terdiri dari Rusia, Cina,
Kazakhstan, Kyrgistan, dan Tajikistan. Setelah masuknya Uzbekistan, tahun 2001,
organisasi ini mengalami perubahan nama. SCO berfokus pada kerjasama keamanan,
ekonomi, budaya, dan aktivitas militer. Tahun 2004 Mongolia ditetapkan sebagai
peninjau dalam partisipasinya di dalam SCO. India, Pakistan, dan Iran menyusul
di tahun berikutnya.
Ketiga, terbentuknya “Uni-Eurasia”. Gagasan ini
dilontarkan Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin. Dalam artikelnya yang berjudul "Proyek
Integrasi Eurasia Baru: Masa Depan yang Dimulai Hari Ini" (Harian
Izvestia, 4 Oktober 2011). Gagasan yang memiliki tujuan "persatuan
baru" negara-negara bekas Uni Soviet tersebut berpotensi menjadikan
euro-asia sebagai poros kekuatan baru di bawah tatanan baru dunia Rusia dan
Cina. Gagasan itu dimunculkan Putin di tengah menurunnya pengaruh Amerika
Serikat dan Jepang di Asia-Pasifik, dan melemahnya Uni-Eropa akibat krisis
ekonomi. Selain itu Putin juga bermaksud menaikkan pamor Rusia setelah diterima
dalam East Asia Summit (EAS). Apa konsekuensinya? Tatanan dunia baru akan
menempatkan pengaruh yang kuat Rusia dan Cina atas negara-negara Asia Tengara
dan Pasifik Barat Daya yang nantinya mampu mengurangi dominasi Amerika Serikat
di kawasan Pasifik. Poros kekuatan baru dunia tersebut menjadi sangat strategis
karena membentuk satu aliansi dengan potensi kekayaan alam yang besar. Banyak
pengamat yang menganggap gagasan Putin ini sebagai "Uni Soviet"
dengan wajah baru dimana Cina tetap merupakan sekutu tradisonalnya. Selain itu,
perkembangan wacana geopolitik global tersebut merupakan upaya Rusia untuk
menggiatkan tatakelola multilateralnya dengan negara-negara bekas Uni Soviet
dan Asia.
Beberapa bentuk organisasi kerjasama multilateral maupun
ide baru yang muncul belakangan merefleksikan perubahan geopolitik dunia. Laju
dunia saat ini tidak lagi hanya ditentukan oleh Amerika Utara dan Eropa Barat
tetapi juga sangat mempertimbangan eksistensi negara-negara yang menjadi
kekuatan ekonomi dan militer baru.
Kekuatan lama tidak tinggal diam menerima keadaan dalam
menyikapi perubahan pergeseran kekuatan dari Atlantik ke Pasifik. AS telah
membangun pangkalan militernya di Darwin dan tetap mempertahankan pangkalan
militernya di Jepang untuk mengimbangi pesatnya kekuatan militer Cina. War of position, meminjam istilah
Gramsci, dilakukan oleh AS yang memproyeksikan penempatan bertahap 60 persen
armada lautnya berada di Pasifik pada tahun 2020 sebagaimana disampaikan oleh
Leon E. Panetta, Menteri Pertahanan
AS, pada Juni
2012 dalam Shangri-La Dialog di Singapura. Perlombaan pembelian dan produksi
senjata canggih di Asia terlihat jelas dari hampir imbangnya anggaran
pertahanan negara-negara Asia yang mencapai US $ 262 trilyun pada tahun 2011
dengan negara-negara Eropa yang tergabung di dalam NATO yang berada di bawah
kisaran US $ 270 trilyun. Dari jumlah tersebut, anggaran pertahanan Cina
mengambil porsi tertinggi sebanyak 30 persen.
II Membaca Dinamika Perubahan Nasional
Sejak 1998 Indonesia mengalami satu perubahan besar.
Perubahan ini menyangkut sejumlah hal: reformasi kelembagaan, reformasi
ekonomi, dan transformasi masyarakat secara luas. Pertama, reformasi kelembagaan di tingkat Negara yang berhasil
menggusur pemerintahan yang otoritarian dan sentralistik ke bentuk pemerintahan
yang mencerminkan hubungan pusat dan daerah yang bersifat desentralistik dan
memberi ruang bagi otonomi daerah yang lebih luas. Bersamaan dengan itu pula
tumbuh lembaga-lembaga baru yang berfungsi melakukan pengawasan kekuasaan,
seperti Komnas HAM, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian
Negara, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, dan
lain-lainnya.
Lembaga-lembaga baru ini menjalankan fungsi-fungsi yang
spesifik, namun secara umum ditujukan untuk merespon tuntutan masyarakat akan
kebebasan (berpendapat, berkumpul dan berserikat), demokratisasi, dan
pengelolaan sistem pemerintah yang dilandasi oleh
prinsip-prinsip good governance
seperti transparansi, akuntabilitas dan rule
of law. Perubahan ini juga mencakup kebebasan pers yang memungkinkan
tumbuhnya banyak media massa cetak maupun elektronik
(online) yang membawa konsekuensi-konsekuensi
besar baik negatif maupun positif.
Kedua, reformasi ekonomi. Krisis moneter 1997-1998 yang
menyebabkan kebangkrutan ekonomi yang luar biasa, membuat pemerintah RI
terjerat utang yang menumpuk dan terpaksa patuh pada lembaga-lembaga donor dan
lembaga keuangan internasional untuk melakukan reformasi kebijakan ekonomi.
Akibatnya, sejumlah perundang-undangan yang direkayasa dan disusun dibawah
tekanan lembaga-lembaga donor itu mendorong pemerintah untuk meliberalisasi
perdagangan dan privatisasi pengelolaan sumberdaya ekonomi di sector-sektor
strategis seperti Migas, Minerba, dan lainnya. Dalam hal ini kita kalah dalam
"strategi": lewat aturan perundang2an, dan SDM kalah Berbeda dg
strategi Cina yg menyekolahkan dulu SDM dipersiapkan untuk mengelola SDA
sendiri
Terjerat pinjaman utang yang bukannya tanpa syarat itu,
pemerintah RI berhasil didikte untuk mengubah “space of law”, seperti UU Migas, UU Minerba, dan
lain-lain yang
pada akhirnya membuka “space of place”
(ruang wilayah) seperti megaproyek
MP3EI dan
eksploitasi sumber-sumber daya alam strategis yang dimiliki rakyat. Oleh karena
itu, meskipun negara ini mampu keluar dari krisis,
semua “kemajuan” (mis. diukur dari pertumbuhan ekonomi rata-rata 6%) harus
dibayar dengan hilangnya aset-aset strategis negara, melemahnya kemandirian
pengelolaan sumberdaya alam, dan pertumbuhan ekonomi yang tak menyentuh sektor-sektor ekonomi riil masyarakat. Reformasi ekonomi harus diakui
cenderung dinikmati oleh sekelompok elit belaka, baik elit lama maupun elit
baru yang berhasil merapat atau memeroleh sokongan dan membentuk oligarki politik-ekonomi
baru.
Gejala perubahan besar yang ketiga adalah transformasi kemasyarakatan dan kebudayaan yang
begitu cepat dan bisa dianggap “liar” yang entah itu berkaitan langsung ataukah
tidak langsung secara struktural dan institusional dengan dua perubahan
besar di atas. Di ranah ini, sikap pragmatis, hedonis dan konsumeris menjadi
gaya hidup utama kehidupan sehari-hari. Arus globalisasi yang diterima tanpa
filter (sebagai alat/sarana sekaligus nilai) telah mengkooptasi kesadaran
sosial yang membuat selera pasar bukan hanya menjadi penanda status sosial
seseorang, tetapi menjadi tempat perburuan kenikmatan yang tanpa ujung, tanpa
jeda, dan tanpa mempertanyakan cara apapun bisa ditempuh (termasuk suap dan
korupsi).
Praktek menghalalkan segala cara (budaya instan) bukan
hanya dikatalisasi oleh globalisasi produk-produk budaya, nilai dan gaya hidup,
tetapi juga kesempatan yang tersedia dan kebutuhan akan identitas atau prestise pada masyarakat transisi yang
salah satunya ditandai oleh mobilitas vertikal yang sangat cepat. Mobilitas mendadak
ini melahirkan culture shock yang
menggunakan semangat “aji mumpung” untuk meraih dambaan material
sebesar-besarnya sebagai pelampiasan dendam kemiskinan masa lalu. Sementara
bagi mereka yang sudah mapan membutuhkan sabuk pengaman (safety belt) untuk melestarikan kenyamanan baik
setelah mereka pensiun maupun untuk kelangsungan anak cucu.
Transformasi kebudayaan ini mencakup sikap-sikap
materialisme di mana kekayaan material menjadi satu-satunya
ukuran kesuksesan. Simbol-simbol material dan prestise yang bersifat artifisial dikejar lewat jalan pintas dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang
tidak terpuji, termasuk merampas ruang publik (media, pendidikan) dan mencuri hak-hak
publik (korupsi pajak, perampasan tanah, dan sumber
daya alam).
Tanpa suatu counter-culture yang
memadai, konsumsi budaya material semacam ini ikut menjerat masyarakat dan kita
ke dalam budaya pasar dan mendorong masuk ke dalam suatu prilaku anarkis baik
secara sosial, politik maupun ekonomi. Di tengah situasi masyarakat yang
prihatin, konsumerisme dan hasrat mengejar prestise yang artifisial semacam itu
adalah pertunjukan kekuasaan atau sejenis ketamakan yang diam-diam dipamerkan.
Di lain tempat atau di ruang politik, korupsi dan money-politics dalam
proses-proses pemilu adalah sejenis penghinaan terhadap rakyat.
Dalam situasi yang akumulatif seperti ini kita menemukan
ironisme. Demokrasi memang berkembang secara prosedural, tapi
nilai-nilai dan kearifan lokal masyarakat justeru merosot. Pemilu
digelar secara rutin dan agen-agen politisi baru menempati lembaga-lembaga
penentu kebijakan. Tapi justru di situlah agen-agen mediokratik ini menikmati
hak-hak demokrasi tanpa memproduksi nilai-nilai kepublikan. Elit politik dengan
mudah mengisi ruang demokrasi itu dengan persengkongkolan bisnis-politik untuk
kepetingan menjarah negara baik sumber-sumber ekonominya maupun nilai-nilai
dasar kepublikan politiknya.
Oleh karenanya bisa dikatakan bahwa setelah lebih dari
satu dekade umur reformasi Indonesia belum benar-benar keluar dari krisis.
Demokrasi menjadi kemerosotan nilai, kebebasan bergeser menjadi anarki.
Gejala-gejala krisis ini paling tidak mengambil bentuk hal-hal berikut ini:
Gejala 1:
Korupsi dan suap menjadi praktek sosial
Bukan rahasia lagi, para pejabat yang berkuasa banyak
melakukan berbagai praktek penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan
menerima suap. Mereka berasal dari lembaga-lembaga negara mulai eksekutif
(menteri, birokrat, kepala daerah), lembaga legislative (DPR dan DPRD) dan
lembaga yudisial (hakim), serta melibatkan lembaga penegak hukum (polisi dan jaksa). Bentuknya bisa beraneka ragam mulai dari yang
paling terang-terangan sampai gelap-gelapan. Spektrumnya bisa sangat luas dari
menghapus atau menyelipkan pasal-pasal ketika menyusun perundang-undangan,
sampai kongkalingkong antara actor politik dan pengusaha atau antara petugas
dan pembayar pajak. Kendatipun upaya-upaya pemberantasan korupsi sudah
dilakukan, tidak bisa dimungkiri bahwa kenyataannya selalu ada upaya serangan
balik dari para koruptor atau pihak-pihak yang kepentingannya terancam, untuk
menggagalkan atau melemahkan institusi pemberantasan korupsi.
Bila kita cermati fenomena korupsi dan praktek suap yang
akut ini maka bisa dianalisasi bahwa akar politik-ekonominya adalah anarki
dalam perebutan alokasi dan distribusi sumberdaya ekonomi, sementara akar
budayanya dibalut oleh pengejaran tanpa akhir terhadap kedudukan, status
sosial, gaya hidup dan prestise sosial dengan konsumsi budaya material sebagai
penyangga utamanya. Pragmatisme
individual dan kenikmatan pribadi ditonjolkan, sebaliknya kepentingan bangsa
ditinggalkan.
Gejala 2:
Produk Perundang-undangan yang merugikan rakyat
Ada banyak produk peraturan
perundang-undangan yang berpotensi kuat merugikan rakyat karena lahir dari sistem perekonomian Indonesia yang
berwatak kolonial. Sejak awal reformasi ekonomi bahkan sebagian jauh sebelumnya
pada era Orde Baru, berbagai revisi perundangan-undangan bercorak liberal
dilakukan untuk memenuhi tekanan internasional yang menghendaki system
perekonomian Indonesia yang pro-pasar seluas-luasnya. Ini adalah bagian dari
skema ekonomi yang sepenuhnya didikte oleh kepentingan lembaga-lembaga donor
dan keuangan internasional yang berkolaborasi dengan korporasi multnasional
untuk mengeruk kekayaan bumi Indonesia. Dengan dalih untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, lembaga-lembaga tersebut bukan saja menggelontorkan utang
kepada RI, tetapi juga menuntut konsesi agar RI membuka diri terhadap investasi
asing, privatisasi dan liberalisasi perdagangan dan keuangan lewat reformasi
kebijakan.
Situasi ini semakin berlanjut ketika RI
dililit utang saat krisis ekonomi 1997 dan IMF kembali memaksakan resep ekonomi
dalam bentuk program penyesuaian structural (structural
adjustment policy) agar pemerintah membuka seluas-luasnya terhadap pasar
dan investasi. Sejumlah peraturan perundangan-perundangan pun lahir,
seperti UU Penanaman Modal, UU Minerba,
UU Migas, UU Sumberdaya Air dan lainnya. Selain RI dijajah lewat perundang-undangan,
lemahnya SDM dan teknologi yang ketinggalan menjadi alasan penyerahan
pengelolaan SDA dan sector finansial dikuasi asing. Dus, sistem hukum ekonomi RI tidak berpihak pada
kemandirian, sementara aktor-aktor dalam pemerintah tidak
memiliki keberpihakan pada rakyat.
Gejala 3:
Merosotnya kebajikan bersama (common
good) dan kesukarelaan
Ada fenomena sosial yang berkembang
pesat di tengah-tengah masyarakat kita belakangan ini yakni suatu praktis
sosial yang ditandai oleh merosotnya kesadaran bersama tentang tanggung jawab,
kebajikan bersama, saling percaya dan kesukarelaan. Dalam hampir semua kagiatan, uang dan imbalan materi lainnya menjadi dasar bagi
berlangsungnya partisipasi warga. Dalam semua kegiatan itu, segala aktivitas
dijalankan secara transaksional. Sementara kesukarelaan, keikhlasan, dan
altruism sebagai basis tindakan sosial kolektif berkurang. Datang ke
pertemuan-pertemuan komunitas, rapat-rapat organisasi, kampanye partai,
preferensi pilihan dalam pemilu, kesediaan untuk membantu dan bersolidaritas
dan lain-lainnya hampir-hampir saja mustahil tanpa melibatkan imbalan dalam
bentuk yang berbeda-beda. Secara sinikal fenomena ini dinyatakan lewat ungkapan
“wani piro?” pada sebuah iklan produk di televisi dan tiba-tiba menjadi
sedemikian popular dalam perbincangan sehari-hari. Pada giliran gejala ini menjadi habitus sosial dimana imbalan dan uang
tiba-tiba menjadi sangat penting dan menentukan kebaikan bersama (common good).
Gejala 4:
Intoleransi dan Kekerasan
Apa yang membuat gusar kita hari ini adalah bahwa demokrasi menjadi
“democrazy”, dan kebebasan menjadi anarki. Orde reformasi yang mengakhiri
belenggu otoritarianisme dan sentralisme pemerintahan Orde Baru, ternyata
berkembang sedemikian jauh sehingga kebebasan terasa melampaui batas yang
menghancurkan ikatan batin kita sebagai sebuah bangsa. Meningkatnya intoleransi
terhadap perbedaan identitas dan disharmoni sosial yang diwarnai dengan aksi
kekerasan seolah-olah menjadi harga yang harus dibayar. Kekerasan dan
intimidasi semacam ini seringkali digunakan sebagai jalan keluar untuk
menyelesaikan masalah, sementara dialog rasional, kritis dan dari hati ke hati
dianggap sebagai jalan yang bertele-tele. Hal yang amat menggelisahkan kita
juga adalah capaian demokrasi yang menyediakan kebebasan ternyata digunakan
oleh sebagian kelompok untuk memaksakan keyakinannya atas yang lain berdasarkan
superioritas dan klaim kebenaran tunggal. Dalam konteks ini, kebersamaan dilukai dan kebhinnekaan
dicampakkan.
Gejala 5:
Media Massa sebagai alat propaganda ekonomi, politik dan budaya
Pers bebas dianggap sebagai salah satu elemen pilar
demokrasi. Fungsinya sebagai medium informasi public sangat efektif untuk
menyampaikan pesan, protes dan bahkan alat control kekuasaan. Kendati demikian,
media massa baik cetak maupun elektronik tak diragukan lagi menjadi salah satu
kekuatan penting dalam pembentukan opini public ketimbang sekedar menyalurkan
pandangan dan pendapat masyarakat. Sering kita lihat media massa membawa
sendiri pesan politiknya atau bahkan membawa pesan pesanan orang lain. Kerap
kali pula media massa menyamarkan peran sebenarnya sebagai actor yang juga
memiliki kepentingan politik atau ekonomi terkait owner-nya.
Dalam konteks ini, media massa seringkali menyajikan
berita atau informasi yang terseleksi dan tidak berimbang bahkan pada
momen-momen tertentu bersifat disinformatif dimana public dihadapkan pada
situasi yang sulit mencerna antara informasi yang benar, gossip atau propaganda
politik. Lebih dari itu semua, media massa cenderung menampakkan diri sebagai alat ideologis dari
suatu kebudayaan besar yang memanfaatkan pasar konsumen Indonesia sebagai objek
distribusi produk-produk luar yang dibarengi dengan industri gaya hidup yang hedonis dan konsumeris yang merayu public. Dus, media massa hari ini bukan hanya agen
informasi yang merepresentasi kepentingan ekonomi dan politik kelompok-kelompok
kepentingan tertentu, tetapi sekaligus agen kebudayaan penting yang melemahkan
kepribadian kebudayaan masyarakat sendiri.
Gejala 6:
Ekstrimisme agama
Ekstrimisme keagamaan muncul karena pandangan melampaui
batas yang dianut oleh sekelompok aliran yang memahami ayat-ayat suci secara
tekstual tanpa mempertimbangkan konteks sosial, kesejarahan dan lokalitas. Di
Indonesia, ekspresi ekstrimisme keagamaan ini muncul dalam bentuk mulai dari sesat-menyesatkan,
kafir-mengkafirkan, kengganan untuk berdialog secara sehat dan adil, hingga
tindak kekerasan dan kehendak untuk mengganti ideologi negara dengan ideologi
khilafah.
Tidak bisa dimungkiri bahwa ideologi ekstrimisme ini terus
menerus diproduksi dan direproduksi baik melalui perebutan masjid-masjid maupun
lewat sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Yang lebih menggusarkan lagi,
semakin lama ideologi ini berkembang di kalangan mahasiswa dan anak-anak muda
yang bagaimanapun keberadaannya bisa merobek-robek corak pandangan keagamaan
masyarakat yang tawasuth dan ramah terhadap tradisi budaya yang hidup dan
berkembang di masyarakat.
Bagaimana cara memahami secara lebih tepat gejala-gejala krisis politik
dan kebudayaan di Indonesia yang sedang berubah ini dengan situasi dan
kondisi-kondisi yang terjadi di arena global? Kapan situasi local terkait
dengan situasi global, dan kapan pula yang local berkembang dalam dinamikanya?
Adalah globalisasi yang memungkinkan peristiwa yang
terjadi di suatu tempat berpengaruh terhadap kejadian di tempat lain yang
berbeda. Globalisasi dicirikan oleh “intensifikasi
relasi-relasi sosial mendunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas yang
berjauhan dalam satu cara yang sedemikian rupa sehingga kejadian yang
berlangsung di suatu tempat tertentu dibentuk oleh peristiwa-peristiwa yang
terjadi bermil-mil jaraknya, dan demikian pula sebaliknya”. Secara
kelembagaan relasi-relasi mengglobal ini didukung oleh kapitalisme,
industrialisme, sistem negara bangsa, dan militerisme. Perkembangan teknologi
yang semakin pesat memungkinkan kemajuan pesat pula pada empat institusi di
atas sehingga relasi-relasi antar peristiwa dan kejadian semakin intensif.
Globalisasi juga ditandai oleh
konsep-konsep seperti etno-scape dimana orang modern terus menerus memperbaharui
kemodernannya dengan cara mendatangi etnis yang menurutnya terbelakang; capital-scape dimana perputaran
uang pada ranah global sehingga uang itu sendiri tidak memiliki
“kewarganegaraan” lagi; ideo-scape, artinya
ide yang dapat melewati batas trans-national. Sebagai contoh, gejala terorisme
yang ada di Timur Tengah dapat merembet ke Indonesia; dan media-scape yang mendorong dan mengkonstruksi pemikiran
kita. Saat ini kita tidak dapat membendung arus informasi yang semakin kuat
paska adanya teknologi, seperti internet. Misalnya: peristiwa G30S terkait dengan perebutan pengaruh dalam perang
dingin antara blok Barat dan Blok Timur; demonstrasi aktifis PKS di KFC
Surabaya berhubungan erat dengan film “The Innocence of Muslim” yang dibuat di
Amerika; atau naiknya harga minyak di pelosok desa Kulon Progo terkait erat
dengan ketegangan politik dan militer di Selat Hormuz, Teluk Persia.
Kendati demikian, bukan berarti lokalitas sepenuhnya
ditentukan secara total dan menyeluruh oleh situasi global. Lokalitas juga
memiliki dinamika sendiri akibat dari basis material dan kebudayaan dimana
proses persaingan dan aspirasi kepentingan, pandangan hidup dan ide-ide antar
actor dan kelompok-kelompok dalam masyarakat tersebut berlangsung. Dinamika
antar aktor ini sangat menentukan apakah lokalitas tunduk pada skenario global, mengabsorbsi, menegosiasi atau justeru melawannya.
Situasi ini sebenarnya bisa diprediksi dan diramal
meskipun tidak secara tepat sempurna. Karena itu selalu ada jalan untuk
mengantisipasi, membangun strategi, dan menyusun agenda bersama.
III. Membaca Kondisi PMII
Dalam satu dekade terakhir kita menyadari bahwa organisasi
pergerakan kita telah berkembang sedemikian pesat baik secara kuantitatif
maupun secara kualitatif. Terbukti bahwa PMII sudah berada di hampir semua universitas dan
perguruan tinggi di Indonesia dengan kuantitas kader yang sangat bervariasi. Di antara organisasi sejenis pun PMII menjadi organisasi
dengan jumlah cabang dan cakupun wilayah terbesar di Indonesia. Era reformasi telah membuka peluang
pengembangan PMII secara lebih massif. Apalagi dukungan kader alumni yang
berhasil melakukan mobilitas vertikal dan menempati jabatan-jabatan politik di
birokrasi pemerintah, lembaga-lembaga negara non-departemen (KPU, Panwaslu,
KPI, misalnya) maupun lembaga legislatif (jadi tidak hanya di LSM saja) tidak
bisa dimungkiri sangat membantu perkembangan ini. Namun demikian, di luar
perkembangan positif yang kita rasakan, kita juga mencatat sejumlah hal yang
kurang membesarkan hati.
Sebelum bergerak ke berbagai masalah internal PMII berikut
diajikan sejumlah data yang didapat selama Rakornas Bidang Kaderisasi tanggal
14-18 Februari 2012 bertempat di Jakarta.
Ruang lingkup rekrutmen: 1) mayoritas kader
PMII memiliki keterkaitan dengan Nahdlatul Ulama, seperti dalam bentuk latar
belakang keluarga, masyarakat, dan pendidikan; 2) sebanyak 95% menyatakan bahwa
anggota/kader PMII tidak berlatar belakang keluarga PMII; 3) secara umum, proses rekrutmen anggota PMII di beberapa kampus tidak melalui
proses pendekatan akademik (ilmiah), tapi melalui proses pertemanan dan 56%
responden menyatakan kader yang bergabung di PMII tidak didasari oleh minat
(keinginan dengan sadar) untuk bergabung ke PMII; 4) kebanyakan (65%) responden menyatakan tidak melakukan test identifikasi
potensi diri dan test kecenderungan aktif di PMII dalam proses rekruitmen
anggota. Sebanyak 51% responden juga menyatakan tidak pernah melakukan kegiatan
pra Mapaba dalam proses rekruitmen, dan; 5) faktor penghambat yang dominan dalam
proses pengkaderan di kampus adalah keterbatasan aspek financial, intervensi
kampus, dan stigma buruk anggota/kader PMII. Sedangkan keberadaan PMII sebagai
organisasi minoritas, dalam suatu kampus, tidak dinilai sebagai hambatan.
Ruang lingkup ideologisasi: 1) Sekitar 80% responden
menyatakan dalam 1 tahun melakukan Mapaba lebih dari 1 kali dan 78% menganggap
materi yang ada di Mapaba masih efektif sebagai sarana ideologisasi; 2)
Sebanyak 49% responden menyatakan materi Mapaba tidak sesuai dengan
karakteristik kampus umum dan ada 17% menyatakan materi tersebut tidak sesuai
dengan karakteristik kampus agama, dan 73% responden menganggap metode yang
digunakan saat ini sudah membantu proses ideologisasi yang diharapkan; 3) Sebanyak
88% responden menyatakan bahwa pemateri Mapaba saat ini sudah memiliki
kompetensi dalam menyampaikan materi; 4) Sebanyak 61% responden tidak mengacu
pada buku multi level strategi dalam pelaksanaan Mapaba, dan ada 5% (2 cabang) yang menyatakan belum pernah
mengenal buku multi level strategi; 5) 78% responden menyatakan perlu
ada materi tambahan dalam menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) anggota/kader terhadap organisasi,
dan; 6) Secara umum, kegiatan follow up Mapaba yang paling banyak dilakukan
oleh PC dalam bentuk diskusi nonformal.
Ruang lingkup peran aktif dan daya juang: 1) Sebanyak 83% responden tidak bisa
melaksanakan PKD lebih dari 2 kali dalam 1 tahun. Sebanyak 56% menyatakan
terdapat pengurus komisariat yang belum lulus PKD. Padahal, 78% responden
menilai PKD adalah proses penempaan utama untuk membangun kompetensi kader
dalam mengorganisasikan institusinya; 2) Ada sebanyak 44% responden menilai
materi PKD tidak sesuai dengan karakteristik kampus umum dan ada 20% menilai
materi tersebut juga tidak sesuai dengan karakteristik kampus agama; 3)
Sebanyak 78% responden menyatakan bahwa pemateri PKD saat ini sudah memiliki
kompetensi dalam menyampaikan materi dan 73% menganggap materi PKD sudah mampu
menumbuhkan kesadaran berperan aktif dan berdaya juang bagi kader PMII; 4)
Sebanyak 44% responden menyatakan pelaksanaan PKD tidak mengacu pada buku multilevel
strategi, dan; 5) Follow up yang dilakukan oleh cabang setelah PKD
sebagian besar dilakukan dalam bentuk diskusi nonformal dan informal.
Ruang lingkup supporting system dan leading
sector: 1) Sebanyak 93% responden menyatakan tidak bisa melakukan PKL lebih
dari 1 kali dalam 1 tahun; 2) Sebagian besar (63%) responden meyakini, kader
yang lulus PKL tidak memiliki orientasi untuk menduduki the leading sectors,
dan 66% materi dan metode yang dilaksanakan dalam PKL tidak mendukung kader
untuk survive di ranah the leading sectors; 3) sebanyak 54%
responden menyatakan pemateri yang ada saat ini tidak memiliki kompetensi dalam
menyampaikan materi PKL, dan; 4) Mayoritas responden menghendaki, model PKL
yang diharapkan dapat mengarah pada survive kader pada ranah the
leading sectors (spesialisasi profesi) adalah dalam bentuk penugasan social
research dan pelatihan keprofesian.
Ruang lingkup assesment dan evaluasi: 1) Sebanyak
63% mengaku melakukan penilaian terhadap daya serap peserta setelah menerima
materi dalam setiap jenjang pengkaderan atau pelatihan. Dan sebanyak 83%
mengaku melakukan penilaian terhadap setiap metode dan narasumber dalam
pengkaderan dan pelatihan; 2) sebanyak 56% responden juga mengaku melakukan
penilaian terhadap perkembangan akademik dan peran aktif kader dalam
berorganisasi, dan; 3) Sebanyak 41% responden menyatakan melakukan penilaian
dan evaluasi kinerja organisasi setiap 3 bulan sekali dan 31% menyatakan tidak
pernah melakukan penilaian dan evaluasi terhadap kinerja organisasinya.
Ruang lingkup relasi PMII dengan alumni: 1) Sebanyak 73%
responden menyatakan bahwa alumni membantu secara financial setiap
pengkaderan yang dilakukan. Sebanyak 45% juga menyatakan bahwa bantuan financial
dari alumni dalam setiap pengkaderan kurang dari 25% biaya yang dibutuhkan;
2) Sebanyak 85% responden juga menyatakan bahwa alumni senantiasa memberikan
gagasan konstruktif dalam penguatan institusi dan pengembangan kualitas kader;
3) Sebanyak 68% responden menyatakan keberadaan organisasi alumni (IKA PMII)
tidak mampu mendorong peningkatan peran alumni pengembangan dan penguatan
institusi PMII, dan; 4) Sebanyak 61% responden juga menyatakan, bahwa alumni
tidak melakukan peran distribusi kader potensial ke ranah produktif.
Sesi analisa potensi diri dan tantangan secara kuantitatif
tersusun dalam empat ruang lingkup: potensi kader dan mandat sosial, proyeksi
realitas dan visualisasi tantangan, kapasitas yang dibutuhkan kader, dan
pemetaan pilihan kebutuhan kader. Sesi ini berlangsung pada tanggal 16 Februari
2012 bertempat di Gedung Serbaguna 3 Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur.
Secara garis besar, angket potensi diri dan tantangan
dapat disimpulkan sebagai berikut: Ruang lingkup potensi kader dan mandat
sosial: 1) latar belakang kampus kader sebanyak 41% kampus umum dan 59% berasal
dari kampus agama; 2) kampus agama negeri 65% dan sisanya berasal dari kampus
swasta; 3) kampus umum negeri 64% dan sisanya berasal dari kampus swasta; 4)
53% kader berasal dari jurusan tarbiyah atau pendidikan, syariah atau hukum
15%, FISIP, ekonomi, dan TIK masing-masing 6%, teknik, Mipa, filsafat atau
ushuludin, kesehatan, dan pertanian masing-masing 3%; 5) pekerjaan orang tua
yang berasal dari unsur petani dan nelayan sebanyak 50%, wiraswasta 24%, buruh
atau karyawan sebanyak 15 %, PNS sebanyak 9%, dan guru sebanyak 3%; 6) latar
belakang pendidikan orang tua sebanyak 47% lulusan SD, 35% sekolah menengah,
15% perguruan tinggi, dan 6% tidak tamat sekolah dasar; 7) sumber pembiayaan
kuliah dari orang tua sebanyak 65%, mandiri dan beasiswa sebanyak 29%, dan
hanya dari beasiswa sebanyak 6%; 8) latar belakang pendidikan kader sebelum
atau pra kuliah sebanyak 61% alumni madrasah aliyah, 27% alumni SMU, dan 12%
alumni SMK; 9) fokus akademik yang diminati sebanyak 74% menyatakan sesuai
dengan disiplin akademik dan sisanya sebanyak 26% menyatakan tidak sesuai; 10)
potensi ekonomi wilayah kader sebanyak 53% menyatakan berada di wilayah dengan
potensi pertanian, perkebunan, perikanan atau kelautan, dan peternakan, 15% di
kawasan industrial, 12% perkebunan dan perikanan, 9% di daerah perdagangan dan
jasa, 9% di daerah perkebunan dan pertambangan, dan pertambangan sebanyak 3%;
Ruang lingkup proyeksi realitas dan visualisasi tantangan:
sebanyak 29% menyatakan terbatasnya network (jaringan), kapasitas atau
kompetensi kader mencapai 27%, lingkungan sosial, budaya, dan politik sebesar
18%, keterbatasan modal ekonomi 12%, terbatasnya lowongan pekerjaan 10%, dan
aspek birokrasi yang menghambat sebanyak 4%.
Ruang lingkup kapasitas yang dibutuhkan kader: sebanyak
44% menjawab kapasitas yang dibutuhkan adalah ideologi, kepemimpinan, network, dan kompetensi, menyatakan
hanya kompetensi sebesar 21%, kompetensi 16%, network 16%, dan ideologi 3%.
Ruang lingkup pemetaan pilihan sektor kader: sebanyak 26%
ingin menjadi akademisi atau intelektual, 26% ingin menjadi entrepreneur atau
industriawan, 18% ingin menjadi PNS atau berada di dalam lembaga negara, 15%
ingin menjadi profesional, 9% ingin berkiprah sebagai aktivis lembaga sosial
kemasyarakatan, dan 6% menjadi politisi.
Dari data kuantitatif dan
kualitatif selama Rakornas Bidang Kaderisasi setidaknya tersaji delapan masalah
sebagai berikut:
Masalah
Pertama: Sumberdaya Anggota
Kaderisasi dijalankan setiap tahun dan menghasilkan
anggota yang melimpah. Tapi harus diakui, semua proses di dalamnya belum
menjamin terciptanya kader-kader yang mumpuni dibidangnya dan berkarakter
sebagai leader. hendak berkecimpung
dan berkontribusi pada sektor-sektor kehidupan sosial, ekonomi, akademik dan
politik.
Hampir di semua universitas dan perguruan tinggi di
Indonesia, sudah ada rayon atau komisariat PMII di sana. Tetapi di sejumlah
kampus memperlihatkan bahwa organisasi PMII belum menjadi pilihan utama, bahkan
di beberapa kampus negeri atau swasta yang dinilai
qualified PMII belum ada apalagi untuk berkembang
pesat. Mengenai hal ini ada beberapa sebab. Pertama,
PMII dianggap kurang memberi nilai tambah bagi mahasiswa dan para anggotanya
sehingga kurang memiliki daya tarik secara kualitatif (prestasi). Kedua, aktivitas pemikiran dan
kegiatan-kegiatan PMII tidak nyambung dengan kebutuhan-kebutuhan yang
berkembang di lingkungan kampus yang selalu bersifat khas. Ketiga, PMII kurang memiliki daya tarik psikologis dan simbolik
kepada mahasiswa karena kurang mampu mengelola organisasinya sebagai institusi
mahasiswa bergengsi dan mengemas citra kadernya sebagai agen perubahan sesuai
dengan citra diri kader PMII.
Masalah Kedua:
Kehidupan Intelektual
Ada sejumlah hal yang kurang
menggembirakan dalam dunia intelektual kita. Gairah intelektual tak sebergairah
masa lalu. Sebenarnya ini sangat ironis, karena banyak informasi dan bacaan
yang tersedia di internet. Bahan-bahan bacaan juga bisa diakses lewat
perpustakaan. Memang semangat untuk meraih prestasi kesarjanaan (akademis)
sudah sangat maju dan tak perlu khawatir bahwa semangat ini akan terus
berkembang di kalangan warga pergerakan. Hanya saja ada gejala baru yang khas
modern, yakni menurunnya kegemaran membaca ide-de besar dan bergulat dengan gagasan-gagasan besar.
Sekarang ini iklim mahasiswa cenderung pragmatis, mereka memilih terjun pada
pengetahuan yang sempit dan terspesifikasi.
Kendati demikian, PMII jangan meratapi
penurunan membaca ide-ide besar ini, karena memang ada konteks akademis yang
berubah. Watak keilmuan sudah berbeda dan semakin terspesialisasi. Tapi kita
tidak boleh rela dengan penurunan ini. Spesialisasi keilmuan warga pergerakan
sangat penting karena negara ini membutuhkan para ahli yang mendalami
pengetahuan yang spesifik dan kompeten dalam bidang-bidang yang khas. Karakter
intelektual semacam ini memang dibutuhkan agar negara maju mengejar
ketertinggalan. Meskipun begitu sebagai organisasi yang berupaya mencetak kader
menjadi seorang leader, pengetahuan
yang spesifik ini tidaklah cukup. Seorang kader PMII harus memiliki kompetensi
dan keahlian dalam bidang tertentu sekaligus juga memiliki visi leadership.
Masalah Ketiga: Reputasi Organisasi
Reputasi
organisasi menyangkut wibawa institusi, pimpinan dan kader pergerakan. Idealnya
reputasi organisasi ini ditentukan oleh integritas, prestasi akademik dan sepak
terjang kadernya di medan pergerakan. Misalnya sejaumana kader-kader pergerakan
mencerminkan nilai-nilai dan pergerakan dan citra diri kader di lingkungan
akademik dan sosialnya, dan pada akhirnya peran mereka dalam mengambil
kepemimpinan untuk merespon isu-isu sosial dan politik yang berkembang di
sekitarnya. Memiliki kader-kader yang berprestasi atau menempati
jabatan-jabatan sosial-politik dan dilingkungan kampus jelas akan meningkatkan
reputasi PMII sebagai organisasi kader, begitu pula inisiatif-inisitif untuk
mendorong tampilnya PMII dalam pentas pergerakan.
Membangun
reputasi sangat penting untuk menambah daya tarik organisasi dihadapan
calon-calon anggota, dan bagi anggota kader sendiri untuk menambah kebanggaan
dan kepercayaan dirinya. Masyarakat juga tidak akan meragukan kiprah PMII
sebagai organisasi kemahasiswaan yang memiliki integritas, responsive dan
mengemban tanggung jawab sosial. Bagaimanapun reputasi PMII masih kalah dengan
organisasi-organisasi lain yang lebih tua meskipun peran yang dimainkan
belakangan ini semakin meningkat.
Masalah Keempat: Kesiapan
Menempati Sektor-Sektor Strategis
Diantara kegusaran yang kita alami sekarang ini adalah
minimnya kader-kader PMII yang mempersiapkan diri untuk berkiprah di
sektor-sektor penting seperti finansial, pertambangan dan perminyakan. Umumnya
dunia politik masih merupakan wilayah pengabdian favorit kader pergerakan dalam
menjalani karirnya. Sebagian besar berkecimpung di dunia akademik di
kampus-kampus, meskipun kenyataannya kuantitasnya masih belum menggembirakan
terutama kiprahnya di kampus-kampus negeri maupun swasta bergengsi. Padahal
kenyataannya sektor-sektor yang tersebut di atas terbukti sangat menentukan
kehidupan perekonomian nasional. Bahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang
sepenuhnya oleh pertambangan yang diekploitasi secara besar-besaran. Ironisnya,
sebagian besar sector ini dikuasai oleh asing yang berkolaborasi dengan
elit-elit bisnis-politisi nasional yang memiliki kepentingan untuk ikut
menjarah kekayaan negara.
Kebanyakan kader-kader PMII enggan memasuki sektor-sektor ini, atau memang tidak ada kader PMII yang mengambil
spesialisasi dan kompetensi di bidang-bidang tersebut. Bisa dikatakan bahwa sektor ini merupakan wilayah asing, tak tersentuh dan terisolasi dari wacana
dan social activism kader PMII.
Kendatipun kaderisasi sudah berekspansi ke kampus-kampus umum,
fakultas-fakultas favorit dalam bidang-bidang tersebut masih belum dijangkau.
Masalah
Kelima: Perangkat nilai yang konstruktif dan sistemik
Sebagaimana setiap organisasi, sistem nilai adalah ruh
pergerakan, adapun struktur dan perangkat organisasi merupakan tubuhnya. Tanpa
sistem nilai atau ideologi ini mustahil organisasi tersebut bisa bergerak, dan
struktur dan perangkat tersebut tak mungkin pula ia merealisasikan tujuan hidup
dan keberadaannya. Sistem nilai PMII ini terumuskan dalam suatu doktrin normative
bernama NDP atau Nilai-Nilai Dasar Pergerakan, yang isinya merupakan sublimasi
dari nilai-nilai keaswajaan dan keindonesiaan. “Keaswajaan” sendiri bisa
dikatakan satu dimensi spiritualisme
ideologis kaum pergerakan yang bersifat khas kaum ahlus-sunnah wal-jamaah di mana segala
aktivitas PMII pada dirinya sendiri adalah suatu bentuk ibadah kepada Sang Penguasa Semesta Jagad Raya.
Dalam doktrin Aswaja, manusia adalah kholifah fil-ardh, pemimpin/penguasa di dunia. Karena itu menjadi
tugas besar setiap kader pergerakan untuk memanggul tanggung jawab itu dalam
rangka merealisasikan visi rahmatan
lil-alamin. Dan seorang pemimpin, atau kolektivitas kepemimpinan, adalah pemimpin dunia yang pada akhirnya harus menghadapi realitas “dunia
yang apa adanya dengan seluruh seluk beluknya”. Dengan kata lain, seorang
kholifah (PMII sebagai “kholifah kolektif”) perlu dilengkapi satu perangkat
metodologis untuk memahami “dunia yang apa adanya dengan seluruh seluk
beluknya” itu untuk memandu gerak langkah kaum pergerakan untuk mencapai
cita-citanya abadinya. Perangkat itulah yang kita namakan: “paradigma gerakan”.
Masalah kita adalah kini dirasakan oleh para kader
pergerakan akan pentingnya suatu paradigm gerakan yang relevan dengan gerak
jaman, dengan situasi dunia yang sedang berubah. Masalah itu tercermin dari
satu pertanyaan: Apakah Paradigma Kritis Transformatif (PKT) masih relevan bagi
PMII kini dan yang akan datang?
Sebagian berpendapat bahwa argumen-argumen yang mendasari
PKT sudah rontok. Dengan demikian, PKT sudah tidak relevan sama sekali.
Sayangnya, dasar alasannya kurang diuraikan: kurang menjawab mengapa rontok,
bagian mana yang rontok; apakah rontoknya pada sebagian asumsi ataukah rontok
pada asumsi-asumsinya secara keseluruhan. Lalu pendapat ini menawarkan suatu
paradigma baru yang diberi nama “Paradigma Berbasis Realitas”. Terhadap
paradigma baru ini pun masih bisa diajukan satu pertanyaan: apakah paradigm ini
berbasis pada filsafat pragmatisme? Lalu apakah paradigm baru ini koheren
dengan seluruh sistem nilai yang selama ini dianut oleh PMII?
Selain Paradigma Berbasis Realitas, ditawarkan pula
“Paradigma Menggiring Arus” (PMA). Di dalam ilmu sosial atau ilmu politik dan
hubungan internasional, sebenarnya tidak dikenal jenis paradigma semacam ini. Nampaknya
gagasan ini dicetuskan dari hasil bacaan baru terhadap dinamika realitas dunia
belakangan ini dalam wawasan geopolitik dan teori sistem dunia. Namun harus
diakui perspektif PMA tetaplah bersifat “kritik struktural” sebagaimana asumsi
dasar yang digunakan dalam PKT Hanya saja yang membedakan keduanya adalah pada
“unit analisis”-nya. Jika unit analisis PKT adalah negara, maka unit analisis
PMA adalah sistem-dunia. Dan bila PKT masih kuat terpengaruh oleh teori
modernisasi, pada PMA kuat terpengaruh oleh varian dalam teori globalisasi.
Kendati begitu keduanya (baik PKT maupun PMA) disatukan oleh perspektif “kritik
struktural”. Dus, paradigmanya tetaplah paradigma kritik.
Walhasil, apakah PKT benar-benar habis sudah atau rontok
seluruh daging dan tulang-tulangnya? Ataukan ada sebagian asumsi PKT yang masih
relevan dan sebagian lainnya perlu direvisi? Lalu apa nama yang tepat untuk
paradigma ini? Apa relevansi dan koherensi upaya revisi tersebut dengan doktrin
al-muhafadzatu ‘alal-qodimis-sholih
wal-akhdzu bil-jadidil-ashlah? Banyak pertanyaan yang bisa kita ajukan
untuk memerkokoh sistem nilai dan ideologi kita.
Masalah
Keenam: Strategi dan taktik sebagai prasyarat gerak
Nampaknya harus diakui bahwa di kalangan kader pergerakan,
ideologi, strategi dan taktik gerakan PMII belum dipahami betul. Sehingga
seringkali terjadi perdebatan dan diskusi tanpa ujung dengan membawa
akibat-akibat kesalahpahaman atau konflik berlarut-larut yang memecah belah
diri sendiri. Masalah kita adalah apa sebenarnya strategi dan bagaimana taktik
gerakan PMII? Apakah kita memiliki kedua-duanya, atau jangan-jangan kita hanya
berjalan natural saja? Kaburnya
pembedaan yang jernih antara aspek ideologi, strategi dan taktik ini seringkali
membawa kesalahpahaman berikutnya. Misalnya kita perlu menjernihkan masalah
yang dipertanyakan kader-kader kita, yakni: apakah “Menggiring Arus” dalam PMA
(Paradigma Menggiring Arus) sebenarnya adalah suatu strategi, dan taktiknya
adalah anti/non-sistemik yang ujudnya bisa kolaborasi, adaptasi, negosiasi dan
ataukah perlawanan frontal?
Sebagaimana disinggung diatas taktik adalah penjabaran
operasional jangka pendek agar strategi dapat diterapkan. Maka suatu taktik
tertentu kita pilih, kita ambil dan kita jalankan atas dasar pertimbangan
situasi aktual dan kenyataan riil di lapangan. Dan oleh karena itu sudah
sewajarnya bila suatu taktik tertentu selalu harus berbasis realitas, kenyataan
riil! Lalu kita pun bisa bertanya: apakah yang kita sebut “Berbasis
Realitas/Kenyataan” dalam PBA (Paradigma Berbasis Realitas) sebenarnya adalah
bahasa yang digunakan dengan pengertian yang sama dengan taktik yang dipahami
disini? Tentu hal ini bukan semata masalah linguistik, bukan?!
Masalah
Ketujuh: Membangun Akumulasi Kesadaran dan Pengetahuan Bersama
Kesenjangan pengetahuan dan keterbatasan wawasan membuat
diskusi untuk membicarakan masalah-masalah substansial seolah bertele-tele dan
dianggap buang-buang waktu atau terlalu teoritis. Seringkali anggapan ini
diperburuk oleh egoisme sektoral, perbedaan otoritas, senioritas dan gengsi
diri yang terlalu berlebihan. Pada akhirnya faktor-faktor ini telah menghalangi
kesediaan untuk bekerjasama, saling mendengarkan, saling menghormati dan menghargai.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila kesepakatan-kesepakatan atau
keputusan-keputusan penting yang bersifat substansial tidak mudah dicapai atau
diambil tanpa masukan-masukan serta pertimbangan kritis, konstruktif dan
solutif.
Padahal sesungguhnya tradisi semacam inilah yang
memungkinkan proses-proses akumulasi pengetahuan bersama dan memupuk kesadaran
kolektif. Di dalamnya mencakup sharing
ide dan pemikiran, praktek berbagi pengalaman, kegelisahan dan keprihatinan,
serta berbagi ketahuan dan ketidaktahuan. Tradisi ini hanya bisa dicapai jika
satu sama lain di dalam “lingkaran kader-kader penting” organisasi ini memiliki
kesabaran untuk mendengarkan, saling menghargai dan tepo seliro, saling memperkaya dan mengakui kekurangan, serta
saling mencari titik temu atas berbagai pendapat yang berbeda. Bagaimanapun
setiap perbedaan pendapat dalam diskusi pada akhirnya harus tunduk pada
kesepakatan bersama yang dicapai secara maksimal dan didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan bertanggung jawab terhadap visi,
amanat dan strategi kolektif pergerakan.
Masalah
Kedelapan: Etika Komunitas Pergerakan
Terkait dengan poin di atas, kita jelas merasakan kurang
tumbuhnya etika pergerakan yang positif, konstruktif dan bersifat metodis. Yang
dimaksudkan adalah etika komunitas pergerakan dalam praktek hidup sehari-hari
yang merupakan pengejawantahan dari etika keaswajaan yang bersifat menyeluruh,
koheren dan sistematik. Ini tidak hanya
terbatas pada sikap normative seperti tawasuth,
tawazun, dan i’tidal, tetapi juga
mencakup habituasi nilai-nilai kesederhanaan, kejujuran, keberanian,
kepercayaan diri, saling kerjasama, kooperasi, gotong royong, kesantunan
publik, saling percaya, saling menghormati, relasi junior-senior yang
konstruktif, semangat kreativitas dan entreprenership, optimistik, teguh pada
prinsip, dan lain-lainnya yang perlu dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari
warga pergerakan.
Etika semacam ini bukan hanya bersifat konstruktif bagi
terbangun kohesi sosial dan pemupukan modal sosial yang kuat. Tetapi juga
menjadi spirit yang bisa dipraktekkan secara metodis dalam hubungannya dengan
kurikulum tersembunyi (hidden curriculum)
kaderisasi guna memperkuat daya resilency,
kedisiplinan, dan membentuk tradisi counter-culture
(oposisi-budaya) terhadap anarkisme politik dan kebudayaan yang kita hadapi.
IV. Strategi-Taktik Gerakan
Posisi
paradigma dalam gerakan PMII sangatlah vital. Ini lantaran paradigma memberikan keyakinan metodologis bagi
setiap kader PMII dalam memahami dan memaknai setiap peristiwa, atau
kenyataan sosial. Pada
puncaknya dari hasil pemaknaan bersama itu lalu bisa dirumuskan model sebuah gerakan kolektif, strategi, dan taktik perjuangan. Gerak tanpa paradigma bukanlah sebuah gerakan dalam arti
sebenarnya, melainkan sebuah kerumunan, gerak acak tak beraturan.
Setiap pergerakan haruslah memiliki strategi perjuangan
untuk mencapai tujuan organisasi. Selain strategi juga diperlukan taktik.
Strategi biasanya berkaitan dengan “apa” yang seharusnya kita lakukan, yakni
mengerjakan sesuatu yang benar (doing the
right things). Sementara taktik berkaitan dengan “bagaimana” untuk
mengerjakan sesuatu itu, yakni mengerjakan sesuatu dengan benar (doing the things right). Dalam
organisasi militer, strategi dianalogikan sebagai seni menggunakan pertempuran
untuk memenangkan suatu perang, sedangkan taktik adalah seni menggunakan
tentara dalam sebuah pertempuran.
Adapun
taktik merupakan penjabaran operasional jangka pendek dari strategi agar strategi
tersebut dapat diterapkan. Strategi sendiri merupakan alat/program-program
indikatif untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Ia bersifat menyatu (unified) yakni menyatukan seluruh
bagian-bagian dalam organisasi; menyeluruh (comprehensive)
dalam arti mencakup seluruh aspek dalam organisasi; dan integral (integrated) yakni seluruh strategi akan
cocok/sesuai untuk seluruh tingkatan (organisasi, kegiatan dan fungsinya). Biasanya strategi dibuka untuk publik,
sementara taktik cenderung dirahasiakan.
Penggunaan paradigma PKT, sementara dalam proses
revitalisasinya, tidak hanya sekedar menekankan kekuatan kritik pada wilayah
nalar tetapi juga transformasi melalui gerakan. Nalar dan gerakan PMII tidak
seharusnya hanya melihat negara semata-mata
sebagai arena bagi para “setan” berkuasa tetapi juga dapat menjadi “malaikat” kebaikan bagi warganya. Negara
merupakan arena kontestasi warga negara yang memiliki afiliasi nilai atau
ideologi untuk berkuasa. Sesat pikir bahwa PMII selamanya vis a vis dengan negara hanya membuat PMII menjadi phobia dengan kekuasaan dan output-nya hanya berada di LSM atau
Ormas.
Strategi gerakan PMII bertumpu pada kekuatan untuk
mengantisipasi perubahan di masa mendatang di tiga front sekaligus: global front, local front, dan internal-movement
front. Berdasarkan berbagai bacaan dan input maka terdapat dua strategi gerakan
PMII: menjadi avant-garde gerakan dan
penguasaan the leading sectors.
A.
Menjadi Avant-garde Gerakan
Mungkin, sudah tidak ada yang menyangsikan bahwa PMII
merupakan gerakan extra- universiter
yang kerap terlibat dalam memperjuangkan perubahan di tingkat nasional dan
daerah. Lewat doktrin liberation theology
berupa keberpihakan terhadap kaum mustadh’afin
serta paradigma kritis transformatif kader-kader PMII begitu terampil memainkan
perannya sebagai aktor gerakan sosial. Radikalisasi
nilai di dalam PMII ditujukan untuk membangun resistensi atas ketidakadilan.
Supaya
gerakan tidak sekedar menjadi “asal gerak” maka PMII menggunakan multi-level strategy sebagai strategi
gerakan PMII.
Multi-level
strategi merupakan langkah mengatasi kuatnya penetrasi struktur global atas
penetrasi struktur lokal.[2]
Dalam bacaan PMII, perubahan tidak hanya ditentukan dari struktur lokal tetapi juga di pengaruhi oleh struktur
global. Oleh karena itu, gerakan PMII berupaya melakukan perebutan (warring position) di tiga front: global front, local front, dan internal-movement
front. Perebutan tiga front tadi memerlukan central planner untuk mengatur ritme di multi centers.
Secara
praktis, gerakan di tiga front memerlukan kelenturan atau fleksibilitas.
Misalnya, struktur global diperlukan untuk menghapus local struktur constraint yang membahayakan gerakan atau merugikan
masyarakat di tataran lokal. Sementara struktur lokal diperlukan untuk
menghambat gerak maju struktur global tersebut. Dalam tesis Andre Gunder Frank
dan Marta Fuentes kita bisa menghambat penetrasi struktur global dengan melepas
kopling (delinking) melalui tiga
mekanisme: pasar, hukum, dan parlemen. Penggunaan mekanisme pasar adalah dengan
upaya memboikot produk atau upaya secara luas melaui kampanye berupa iklan atau
tekanan opini di surat kabar. Adapun melalui mekanisme hukum adalah dengan
mengajukan gugatan ke pengadilan. Sedangkan mekanisme parlemen digunakan untuk
memberikan tekanan melalui pemotongan anggaran, kritik terhadap kebijakan
pemerintah, dan pembuatan regulasi.
Skema
gerakan di tiga front ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Local Front
Ø Pasar
Ø Hukum
Ø Parlemen
|
Local Structure
Internal-movement
Front
|
Global Structure
Transnational
Corporation
|
Global Front
Ø Pasar
Ø Hukum
Ø Parlemen
|
Geopolitik
Lokal
|
Geopolitik
Global
|
Contoh
penggunaan skema di atas dengan menggunakan isu kerusakan hutan yang melibatkan
perusahaan transnasional adalah sebagai berikut. PMII bersama dengan kelompok
masyarakat tercerahkan lainnya melakukan advokasi secara langsung dengan melobi
parlemen untuk menghentikan laju kerusakan hutan. Hasil lobinya bisa berupa
regulasi yang memaksa penghentian eksploitasi hutan. Cara berikutnya adalah
dengan melakukan judicial review atas
regulasi yang merugikan melalui Mahkamah Konstitusi atau membawa bukti-bukti
kerusakan lingkungan ke meja pengadilan agar terjadi penghentian dan terjadi
ganti rugi. Jika kedua cara ini tidak mempan maka melakukan kampanye boikot
produk dari perusahaan tersebut yang dipasarkan di Indonesia. Ketiga cara ini
bisa dilakukan di tingkat nasional maupun daerah melalui tiap tahap atau ketiga
tahap sekaligus. Apabila ketiga mekanisme tersebut kandas di tingkat lokal maka
PMII harus melakukan pertempuran di global
front misalnya dengan membangun jejaring kelompok gerakan sosial lainnya
untuk melakukan hal serupa di negara di mana perusahaan transnasional tersebut
berpusat. Kelompok gerakan sosial yang menjadi rekan seperjuangan PMII dapat
melakukan kampanye boikot produk hasil hutan Indonesia, meminta anggota
parlemen untuk menekan pemerintah dan pemilik perusahaan, dan melakukan upaya
hukum sesuai dengan aturan yang berlaku di negaranya. Pelibatan organisasi
gerakan sosial global lainnya di global
front sangat dimungkinkan untuk menghadapi ganjalan dari domestic comprador classes. Mekanisme
inilah yang disebut delinking.
Di
luar contoh di atas masih terdapat banyak lagi contoh lainnya, misalnya terkait
advokasi Blok Migas yang akan habis masa kontraknya dan advokasi terhadap UU
yang diinisiasi atau disponsori oleh lembaga-lembaga asing sebagaimana tabel di
bawah ini:
Tabel Blok Migas yang Habis Masa Kontrak 2013-2021
No
|
Tahun
|
Nama Blok
|
Kontraktor
|
Lokasi
|
1
|
2013
|
Blok Siak
|
PT Chevron Pacific
|
Riau
|
2
|
2015
|
Blok Gebang
|
JOB Pertamina – Costa
|
Sumatera Selatan
|
3
|
2017
|
Blok Offshore Mahakam
|
Total E & P Indonesia
|
Kalimantan Timur
|
4
|
2017
|
Blok ONWJ
|
PT Pertamina HE
|
Laut Jawa
|
5
|
2017
|
Blok Attaka
|
Inpex Corp
|
Kalimantan Timur
|
6
|
2017
|
Blok Lematang
|
PT Medco E & P Indonesia
|
Sumatera Selatan
|
7
|
2018
|
Blok Tuban
|
JOB Pertamina – Petrochina
|
Jawa Timur
|
8
|
2018
|
Blok Ogan Komering Ilir
|
JOB Pertamina – Talisman
|
Sumatera Selatan
|
9
|
2018
|
Blok NSO B
|
Exxon Mobil
|
Sumatera Utara
|
10
|
2018
|
Southeast Sumatera
|
CNOOC
|
Sumatera Selatan
|
11
|
2018
|
Blok Tengah
|
Total EP
|
Kalimantan Timur
|
12
|
2018
|
NSO-NSO Extent
|
Exxon Mobil
|
Sumatera Utara
|
13
|
2018
|
Blok Sanga-sanga
|
Vico
|
Kalimantan Timur
|
14
|
2018
|
Blok W Pasir dan Attaka
|
Chevron Indonesia Company
|
Kalimantan Timur
|
15
|
2019
|
Blok Bula
|
Kalrez Petroleum
|
Maluku
|
16
|
2019
|
Seram-Non Bula Block
|
Citic
|
Pulau Seram
|
17
|
2019
|
Blok Pendapa dan Raja
|
JOB Pertamina – Golden Spike
|
Sumatera Selatan
|
18
|
2019
|
Blok Jambi Merang
|
JOB Pertamina – HESS
|
Sumatera Selatan
|
19
|
2020
|
Blok South Jambi B
|
Conoco Philips
|
Jambi
|
20
|
2020
|
Blok Selat Malaka
|
Kondur Petroleum
|
Riau
|
21
|
2020
|
Blok Brantas
|
Lapindo
|
Jawa Timur
|
22
|
2020
|
Blok Salawati
|
JOB Pertamina – Petrochina
|
Papua
|
23
|
2020
|
Blok Kepala Burung A
|
Petrochina International Bermuda
|
Papua
|
24
|
2020
|
Blok Sengkang
|
Energy Equity
|
Sulawesi Selatan
|
25
|
2020
|
Blok Makassar Strait
|
Chevron Indonesia Company
|
Sulawesi Selatan
|
26
|
2021
|
Blok Bentu
|
Sagat Kalila
|
Riau
|
27
|
2021
|
Blok Rokan
|
Chevron Pacivic Indonesia
|
Riau
|
28
|
2021
|
Blok Muriah
|
Petronas
|
Jawa Tengah
|
29
|
2021
|
Blok Selat Panjang
|
Petroselat
|
Riau
|
Tabel Contoh Beberapa Undang-undang yang Diinisiasi atau
Disponsori oleh Lembaga-Lembaga
Asing
No
|
Undang-undang
|
Keterangan
|
1
|
UU No. 5 Tahun 1999
|
Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
|
2
|
UU No. 14 Tahun 2001
|
Tentang Paten
|
3
|
UU No. 15 Tahun 2001
|
Tentang Merek
|
4
|
UU No. 16 Tahun 2001
|
Tentang Yayasan
|
5
|
UU No. 22 Tahun 2001
|
Tentang Minyak dan Gas
Bumi
|
6
|
UU No. 15 Tahun 2002
|
Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang
|
7
|
UU No. 19 Tahun 2003
|
Tentang Hak Cipta
|
8
|
UU No. 18 Tahun 2003
|
Tentang Hak Advokat
|
9
|
UU No. 25 Tahun 2003
|
Tentang Perubahan atas
RUU Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
|
10
|
UU No. 36 Tahun 1999
|
Tentang Telekomunikasi
|
11
|
UU No. 25 Tahun 1999
|
Tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
|
12
|
UU No. 23 Tahun 1999
|
Tentang Bank Indonesia
|
13
|
UU No. 8 Tahun 1999
|
Tentang Perlindungan Konsumen
|
14
|
UU No. 16 Tahun 2000
|
Tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang No.6
Th.1993 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan |
15
|
UU No. 17 Tahun 2000
|
Tentang Perubahan Ketiga
atas Undang-Undang No.7 Th.1983 Tentang Pajak Penghasilan
|
16
|
UU No. 24 Tahun 2000
|
Tentang Perjanjian
Internasional
|
17
|
UU No. 25 Tahun 2000
|
Tentang Program
PembangunanNasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004
|
18
|
UU No. 14 Tahun 2002
|
Tentang Pengadilan Pajak
|
19
|
UU No. 20 Tahun 2002
|
Tentang
Ketenagalistrikan
|
20
|
UU No. 32 Tahun 2002
|
Tentang Penyiaran
|
21
|
UU No. 17 Tahun 2003
|
Tentang Keuangan Negara
|
22
|
UU No. 27 Tahun 2003
|
Tentang Panas Bumi
|
23
|
UU No. 3 Tahun 2004
|
Perubahan Atas UU No. 23
Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
|
24
|
UU No. 7 Tahun 2004
|
Tentang Sumber Daya Air
|
25
|
UU No. 19 Tahun 2004
|
Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang
Perubahan atas UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang
|
Penggunaan skema di
atas, baik di global front dan local front, harus sangat hati-hati
karena perlu kedalaman analisis sehingga dapat menentukan siapa pihak yang bisa
dijadikan sebagai potential allies
(sekutu potensial), contender
(lawan), dan challenger (penantang).
Sangat mungkin posisinya bisa saling bergeser dalam menghadapi isu-isu
tertentu.
Perebutan
atau pertarungan di global front dan local front sangat dipengaruhi oleh internal-movement front karena front
inilah yang menyediakan mekanisme kaderisasi dan kontinuitas gerakan. Internal-movement front harus memastikan
semua gerakan terencana dan terukur dengan menjadikan bacaan geopolitik lokal,
geopolitik global, dan sejarah sebagai pijakan. Dengan demikian, pilihan pada
isu harus dilakukan dengan tingkat kecermatan yang tinggi dengan tetap memprioritaskan
common will (UUD 45 dan Pancasila)
dan national interest (cita-cita
kemerdekaan). Mengadopsi semua langkah di atas akan menjadi PMII sebagai avant-garde gerakan mahasiswa di
Indonesia.
Semua
perencanaan gerakan dan proses kaderisasi harus totally secured.
B.
Penguasaan The Leading Sectors
Sejauh ini, proses pelembagaan sistem demokrasi di
Indonesia terus berlangsung dan dianggap oleh sebagian kelangan berada on
the track menuju fase konsolidasi demokrasi atau sedang menuju kekhasan
demokrasi ala Indonesia. Dari luar,
proses transform the system dilakukan dan dikawal oleh berbagai elemen
masyarakat sipil, pers, dan juga organisasi gerakan mahasiswa. Dari dalam,
pilar-pilar demokrasi terus mengalami koreksi mendasar dan meskipun lambat
terus mengalami perbaikan.
Dalam situasi demikian, political opportunity untuk
berada di dalam pusaran kekuasaan menjadi sangat terbuka bagi siapapun dengan
latar belakang apapun. Kekuasaan menjadi sulit dimonopoli oleh salah satu
unsur, seperti: militer, intelektual-aktivis, teknokrat, pengusaha atau
industriawan, kalangan profesional, dan lain-lain sebagaimana yang pernah
terjadi di masa lalu.
Terdapat berbagai tantangan dan pelajaran dalam relasi
kenegaraan dan kebangsaan yang berpotensi menghambat atau memperkaya proses
pematangan demokrasi yang berpijak terhadap kebaikan bersama, yakni:
fundamentalisme agama yang berwujud pada terorisme dan tindakan intoleran,
benturan identitas, tindakan separatis, konflik masyarakat dan korporasi di
daerah pertambangan dan kawasan industrial, konflik agraria, kemiskinan, korupsi, dan liberalisasi pasar secara
berlebihan. Adapun tantangan dari luar yang dampaknya berpengaruh adalah resesi
ekonomi global, perang memperebutkan sumber daya alam dan batas-batas
teritorial, dan kegagalan sistem demokrasi politik dan liberalisasi pasar.
Bagi PMII, perubahan politik, ekonomi, dan sosial harus
bisa direspon dengan menyiapkan resources yang bisa ditempatkan di
berbagai sektor terutama yang berkategori sebagai the leading sectors (pemerintahan,
industri, dan akademik) dalam perspektif sosiologi inovasi agar internalisasi
nilai dapat terjadi. Internalisasi nilai perlu dilakukan
mengingat PMII sebagai organisasi kader yang memiliki karakteristik nilai ke-Islam-an ahlussunah
wal jama’ah dan
ke-Indonesia-an yang bertujuan untuk mencapai cita-cita
kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang tercantum di dalam tujuan organisasinya.
Tentu saja hal tersebut akan sulit diwujudkan jika ruang yang banyak dimasuki
oleh kader-kader PMII cenderung monolitik akibat resources yang homogen
Medan Gerak
|
Siapa Kita
|
Siapa Musuh
|
Negara: produksi regulasi dan
kebijakan
|
Industri: Produksi ekonomi
|
Akademik:
Produksi , reproduksi, transformasi pengetahuan
& teknologi
|
Research & development
|
Teknologi
sesuai kebutuhan, akses rakyat atas
sumberdaya alam
|
Proteksi
sosial dan keberpiha-kan regulasi untuk rakyat
|
BERDIKARI
|
Semangat dan kreativitas internal saat berinteraksi
dengan kepentingan neo-liberal. Mengkritisi sambil menawarkan solusi dalam dunia baru.
|
Politik
|
Ekonomi
|
Pengetahuan & Budaya
|
Kapasitas yg dibutuhkan:
*Kompetensi
*Kepemimpinan
*Landasan ideologi
paradigmatik
|
Unit
analisis:
Negara
dan sistem dunia
|
Ketiga
sektor yang harus dikuasai oleh kader-kader PMII post-struktur yakni: negara,
industri, dan akademik. Ketiganya hanya
dapat dikuasai jika proses kaderisasi sebagai kawah candradimuka kader PMII
dapat terjadi dengan baik. Proses kaderisasi bukan lagi hanya dimaknasi sebagai
proses internalisasi values melainkan
juga peningkatan kapasitas atas kompetensi yang dibutuhkan di masa mendatang
dan penempaan kualitas leadership.
Hingga
saat ini akselerasi kader-kader PMII di sektor-sektor strategis, lebih dari 50
tahun kelahirannya, belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal ini tercermin
dari sebaran alumninya.
Sektor Strategis Kelemahan Kekuatan
Pemerintah
karir Kementerian strategis Kementerian
non-strategis
Pemerintah
non-karir Partai
besar Partai
kecil
Industri Menengah-besar kecil
Akademik Kampus
agama Kampus
Umum
|
Sektor Lain
LSM/NGO Pertambangan, pertanian Keagamaan,
HAM
Perikanan,
perkotaan perempuan,
demokrasi
Profesi scientist,
advokat, dokter pekerja
kerah biru,
pendidik
Lembaga
negara non-departemen ekonomi,
hokum, keuangan sosial,
politik
|
Tabel
di atas menjelaskan bahwa penguasaan kader PMII di ranah sektor strategis
sangat kecil. Pemerintah karir yang dimaksud di sini adalah ranah birokrasi
yang mencapai level eselon I. Sangat sulit menenemukan kader PMII yang mencapai
eselon I kecuali di Kemenag. Baru muncul belakangan ada juga di Kemenkumham
serta Kemendikbud dengan jumlah yang sangat kecil. Sementara di kementerian
lain yang dianggap strategis atau berimplikasi terhadap hajat hidup orang
banyak seperti di kementerian keuangan, perdagangan, perindustrian, pertanian,
dan ESDM, tidak terdapat satu pun kader PMII yang mencapai posisi eselon I.
Bahkan, memang nyaris tidak ada sama sekali yang berkarir di dalamnya. Di ranah
pemerintahan non-karir adalah kekuasaan di pemerintahan yang didapat dari
mekanisme pemilu. Partai politik yang dimasuki oleh banyak kader PMII umumnya
hanya menempati posisi menengah-bawah dalam tiap kali penyelenggaraan pemilu
legislatif digelar. Posisi menengah-bawah membuatnya menjadi sulit dalam
melakukan fungsi controling,
legislasi, dan budgeting. Khusus penguasaan ranah eksekutif implikasinya adalah
sukarnya mendudukkan kader-kader PMII dalam pemilukada bahkan atau pilpres.
Di
sektor industri pun demikian. Nyaris tidak ada kader-kader PMII yang menjadi
pemain besar padahal konsumen terbesar di Indonesia adalah nahdliyin. Umumnya
mereka baru berada di sektor usaha menengah-bawah. Padahal, potensi Indonesia
sebagai kekuatan ekonomi dunia sangat besar di masa mendatang.[3]
Adapun
di sektor akademik terlihat dari minimnya jumlah alumni yang menjadi rektor
perguruan tinggi negeri (PTN). Dari 80-an PTN hanya dua orang yang berasal dari
alumni PMII. Kebanyakan alumni PMII menjadi akademisi di kampus agama negeri
maupun swasta. Inipun masih belum maksimal mengingat kampus agama negeri banyak
dikuasai oleh bukan kader PMII.
Oleh
karena inti strategi ini terletak pada upaya menyiapkan kader PMII untuk dapat
memiliki kapasitas spesialis dari berbagai disiplin akademik guna berkompetisi
di semua sektor strategis maka upaya yang harus dilakukan adalah dengan
memperbaiki kualitas kader yang berasal dari berbagai disiplin akademik.
Untuk menjalankan kedua strategi di atas maka taktik gerakan dan kaderisasi PMII adalah melakukan
penguatan kaderisasi kampus umum, penguasaan organisasi intra-universitas, dan
membangun global-network.
Penguatan kampus umum
Sejak
lama PMII berupaya untuk membangun kekuatan di kampus umum. Berbagai rekayasa
dilakukan meskipun sejauh ini masih menghadapi tantangan yang kuat.
Perekayasaan ini secara kasat mata terlihat dari background 15 Ketua Umum PB PMII di mana sembilan di antaranya
berasal dari kampus umum, antara lain: Mahbub Djunaidi (UI), Ahmad Bagja (IKIP
Jakarta/UNJ), Muhyidin Arubusman (Unija), M. Aqbal Assegaf (IPB), Ali Masykur
Musa (Unej), Muhaimin Iskandar (UGM), Nusron Wahid (UI), A. Malik Haramain (Unmer),
dan M. Rodli Kaelani (Unsrat). Selain upaya untuk memotivasi dan memperkuat
kaderisasi PMII di kampus umum, perekayasaan tersebut bertujuan untuk
mengakselerasi kader PMII di level kepemimpinan nasional karena dianggap
memiliki modal sosial lebih.
Di
tingkat lokal, perekayasaan ini belum bisa berjalan secara sempurna. Terdapat
beberapa kendala di antaranya: 1) kampus umum belum dilihat sebagai arena
rekrutmen yang perlu mendapat prioritas dari pengurus cabang; 2) kesulitan
mempertahankan kader yang terekrut karena gagal mengadaptasi model kaderisasi
yang tepat; 3) pendekatan melalui materi-materi kaderisasi formal PMII
diasumsikan sarat dengan pendalaman pengetahuan keislaman bagi mereka yang
sudah terkategori di atas pemula, dan; 4) dalam kontestasi perebutan struktur
di lingkup cabang kerap kali terkalahkan karena posisinya minoritas. Akibatnya,
terjadi kefrustasian berupa hilangnya motivasi berorganisasi karena akses masuk
ke dalam struktur menjadi macet.
Penguatan
kampus umum harus dilihat sebagai sarana mereproduksi kader yang memiliki
berbagai macam disiplin pengetahuan akademik. Untuk dapat mendudukkan kader di leading sectors maka mau tidak mau
penguatan kampus umum menjadi prasyarat mutlak. Penguatan kampus umum bukan
berarti menafikkan resources kader
PMII yang berasal dari kampus agama tetapi harus dilihat semata-mata sebagai
upaya memperkaya resources mengingat
banyak kampus agama kini juga memiliki fakultas dan jurusan umum seperti di
berbagai Universitas Islam Negeri. Keduanya harus sinergis.
Pemerintah karir/non-karir
RESOURCES
PMII
Akademik Industri
Sebelum
melakukan penguatan kaderisasi di kampus umum ada baiknya melihat perbedaan
karakteristik mahasiswa antara kampus agama dan umum sebagaimana yang terlihat
di dalam gambar di bawah ini.
Kampus Agama Kampus Umum
Kohesi sosial solidaritas
tinggi solidaritas
rendah-menengah
Strata sosial menengah-bawah menengah-atas
Latar pendidikan MA/SMU
Islam SMU/SMK
Lingkungan sosial rural urban
Orientasi pengetahuan non-eksakta non-eksakta dan
eksakta
|
Berdasarkan tipologi mahasiswa
di atas maka berikutnya kita dapat melakukan upaya rekrutmen dengan skema segmentasi-targeting-positioning.
Segmentation
|
Positioning
|
Targeting
|
Taktik Rekrutmen
|
Segmentasi
merupakan arena pembagian mahasiswa di dalam kampus yang heterogen ke dalam
satuan-satuan yang bersifat homogen dilihat dari aspek geografis, demografis,
dan psikografi. Setelah segmentasi membagi mahasiswa ke dalam identifikasi
tertentu maka langkah berikutnya adalah melakukan targeting. Targeting
merupakan merupakan usaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam sebuah
proses kampanye pengenalan PMII berdasarkan masing-masing segmen. Untuk
melakukan upaya ini perlu memperhatikan empat langkah sebagai berikut: 1)
memperhitungkan segala sumber daya yang dimiliki dan dibutuhkan; 2) menganalisa
kekuatan sumber daya kompetitor lain, dalam hal ini berupa organisasi
eksta-universitas lainnya; 3) melakukan komparasi kekuatan dengan organisasi
ekstra-universitas lainnya; 4) mengambil keputusan bentuk dan media pengenalan
yang akan digunakan untuk membangun pencitraan atau image.
Hasilnya
adalah positioning yang membedakan
PMII dengan kompetitor lainnya. Positioning
merupakan suatu proses menempatkan PMII ke dalam pikiran mahasiswa sesuai
dengan keinginan pengurus PMII. Untuk bisa menentukan positioning maka perlu menentukan karakteristik berupa added value yang dimiliki oleh PMII.
Skema di atas jika
diturunkan sebagai berikut:
Segmentasi Targeting Positioning
Geografi Perkotaan Hobi , performance berbakat di luar bidang
akademik
peduli life style Rapih,
fashionable, tidak urakan
Pedesaan Ketekunan
belajar Cerdas
Intens dalam berkawan Solidaritas tinggi, kolektivitas
Demografi Etnik Asal daerah Menghargai ikatan komunal dan
budaya
Agama NU, non-afiliasi Islam moderat,
menghargai pluralitas
Ritus
keagamaan: tahlil, ziarah, dll.
Psikografi Strata sosial Menengah Kritis, agen
perubahan
Karakter Berorientasi prestasi Prestasi akademik, prestasi
kompetisi
di dalam dan luar kampus
|
Berdasarkan
kolom di atas maka brand awareness
dalam positioning PMII di kampus umum
adalah: berbakat di luar bidang akademik, rapih atau fashionable, cerdas, solidaritas tinggi atau punya semangat kolektivitas, menghargai ikatan komunal
berdasarkan asal daerah atau etnik, berhaluan Islam-moderat dan menghargai
pluralitas, menjalankan ritus keagamaan tertentu seperti tahlil atau ziarah, kritis,
serta memiliki prestasi akademik di dalam dan luar kampus. Saat ini positioning PMII baru terbatas pada pemahaman
Islam-moderat dan kekhasan dalam berbagai ritus ibadahnya.
Untuk
mencapai positioning maka dalam targeting perlu mendapatkan medium yang
tepat berdasarkan pemetaan segmentasi yang sudah didapatkan.
Targeting Media Hobi, performance UKM,
klub hobby Ketekunan belajar Kelompok studi,
perpustakaan
Asal daerah organisasi
kedaerahan,
asrama mahasiswa, tempat kost
NU, non afiliasi masjid kampus
Menengah kelompok
studi, kantin kampus
Berorientasi
prestasi kelompok studi,
UKM,
|
Penggunaan
besaran targeting ditentukan oleh
kapasitas resources yang dimiliki.
Peningkatan jumlah targeting bisa
dilakukan seiring dengan terjadinya proses penambahan resources. Cara yang paling sederhana jika kekuatan sangat minimal
yakni: 1) mencari alumni pesantren atau orang tua yang memiliki afiliasi
keagamaan dengan NU. Cara ini bisa dilakukan melalui pendekatan kultural lewat
jaringan alumni pesantren dan penilaian terhadap ritus keagamaan di masjid
kampus. Khusus untuk mahasiswi bisa diidentifikasi dari jilbab yang
dikenakannya; 2) jaringan pertemanan dalam satu sekolah umum; 3) mendorong produktivitas karya akademik
kader-kader PMII yang sudah ada sehingga terlihat seperti achievement. Dorongan achievement
ini diperlukan mengingat kebanyakan mahasiswa kampus umum berorientasi pada
hasil. Kader PMII yang berprestasi akan menjadi magnet bagi teman seangkatan
maupun junior-juniornya yang belum terekrut. Hal ini perlu dilakukan untuk
mematahkan stigma bahwa aktif berorganisasi secara otomatis akan menghambat
prestasi akademik.
Di
luar tahapan-tahapan di atas, ada baiknya melakukan upaya pra-rekrutmen.
Pra-rekrutmen adalah proses pengenalan PMII di SMU atau MA favorit yang dapat
dilakukan oleh pengurus cabang. Sekolah favorit biasanya menjadi pemasok
mahasiswa di perguruan tinggi umum negeri. Terdapat dua cara yang dapat
dilakukan. Pertama, dengan mengadakan program bimbingan belajar lulus UAN dan
atau SPMB. Kedua, melibatkan perwakilan OSIS dalam kegiatan-kegiatan yang di
selenggarakan oleh PMII misalnya dalam kegiatan diskusi publik. Biasanya, Mereka
yang tergabung di dalam OSIS adalah siswa-siswi berprestasi dan mempunyai
gairah berorganisasi yang tinggi.
Setelah melakukan berbagai langkah di atas maka fase yang
tidak kalah pelik adalah mempertahankan positioning. Mereka yang telah terekrut harus
mendapat pembinaan yang terencana dan terukur sehingga positioning yang diharapkan dapat terbentuk dan bertahan. Program
kegiatan hendaknya hanyak diprioritaskan pada dua hal besar: internalisasi
nilai dan dorongan meraih prestasi.
Adapun
taktik pengembangannya adalah dengan mendorong berdiasporanya kader-kader PMII
di berbagai klub studi/hobby, UKM, dan BEM sebagai sarana melakukan rekrutmen,
mengakumulai pengetahuan akademik, menambah jejaring profesional dan alumni
almamater, serta mewarnai (menginternalisasi) institusi dengan values PMII.
Penguasaan organisasi intra-universitas
Di
hampir seluruh kampus, organisasi intra-universitas merupakan arena kontestasi
mahasiswa yang tergabung dalam organisasi gerakan baik dalam sekup lokal kampus
maupun ekstra-universitas. Di luar kedua kelompok tadi biasanya terdapat
berbagai kelompok berbasis hobby, etnik, maupun atas dasar disiplin akademik di
jurusan atau fakultas.
Organisasi
intra-universitas perlu dikuasai karena memiliki tiga aspek yang dapat membantu
pengembangan PMII. Pertama, dari aspek finansial, organisasi ini mendapatkan
biaya dari pihak kampus dalam menjalankan kegiatan-kegiatannya secara periodik.
Kedua, dari aspek infrastruktur, organisasi ini memiliki sekretariat beserta
perlengkapan kantor di dalam kampus. Ketiga, dari aspek legalitas, umumnya organisasi
ini yang hanya boleh menjalankan berbagai kegiatan mahasiswa non-akademik di
dalam kampus.
Penguasaan
organisasi intra-universitas sangat bergantung dengan kekuatan PMII atau, dalam
kasus tertentu, kekuatan personal kader PMII. Mengkalkulasi kekuatan menjadi
penting untuk dapat menentukan organisasi intra-universitas yang diproyeksikan
untuk direbut yang dalam wujudnya berbentuk UKM, Himaju, BEM Fakultas, BEM
Universitas, dan DPM. Bila berhasil dikuasai maka pendanaan kegiatan PMII dapat
disubsidi dari anggaran kampus melalui sisa anggaran kegiatan formal. Dari
aspek infrastruktur dapat memanfaatkan fasilitas yang dimiliki oleh kampus,
misalnya menjadikan sekretariat sebagai sarana untuk rapat dan berdiskusi
kegiatan-kegiatan PMII. Adapun dari aspek legalitas, kegiatan-kegiatan yang
dijalankan menjadi sarana sosialisasi kader-kader PMII. Dalam kegiatan-kegiatan
formal tersebut dapat melihat dan menilai mahasiswa potensial yang sangat perlu
untuk direkrut oleh PMII.
Taktik
penguasaan organisasi intra-universitas sesungguhnya dapat dijadikan ukuran
sejauh mana tingkat penerimaan kualitas kepemimpinan dan ketrampilan
berorganisasi kader-kader PMII bagi mahasiswa lainnya. Proses penempaan kepemimpinan
akan menjadi berbeda mengingat tantangannya juga berbeda. Selain meningkatkan skill kepemimpinan dorongan untuk berada
di organisasi intra-universitas bertujuan meningkatkan kompetensi berdasarkan
potensi dan minat akademik
Membangun Global-network
Sebagai
bagian pertarungan PMII di dalam global
front maka langkah yang harus dilakukan adalah membangun global-network dengan organisasi gerakan
sosial lainnya. Global-network akan
sangat berfungsi manakala PMII menggunakan instrumen kekuatan global untuk
turut memberikan tekanan dalam melakukan advokasi pada perebutan local front.
Pada
level pengembangan institusi, global-network
dapat membantu untuk mengakselerasi pengetahuan dan jaringan. Global-network, selain organisasi
gerakan sosial transnasional, yang di maksud dalam hal ini adalah negara. Sebagai
organisasi kemahasiswaan, PMII dapat membuka (opportunity)
berjejaring dengan berbagai aktor dalam negara. Modal sosial yang dimiliki
adalah oleh PMII untuk berjejaring dengan negara adalah pengalaman dan
kemampuannya dalam mengkampanyekan Islam moderat. Hal ini bisa menjadi alat
tawar dalam membangun relasi internasional dengan negara-negara yang tergabung
di dalam BRICS. Negara-negara BRICS memiliki potensi menjadi kekuatan baru di
dunia dalam hal ekonomi, politik, teknologi, dan pertahanan.
Saat
ini yang banyak terjadi di negara-negara tersebut adalah potensi distabilitas
akibat separatisme atau konflik horizontal berbasis sentimen keagamaan. Di
Cina, India, dan Rusia keberadaan umat Islam menduduki persentase yang cukup
tinggi. Dan pastinya, negara-negara tersebut tidak ingin mengalami kendala
ketika berambisi menjadi kekuatan baru.
Kelebihan
PMII dalam mempromosikan dan mempraktekkan Islam moderat tentu dapat menjadi
“penggedor” dalam membangun relasi. Islam yang
dikampanyekan bukan merupakan Islam berwatak konfrontatif yang memaksakan
ajaran Islam diadopsi dalam sistem kenegaraan melainkan pemahaman Islam yang
selaras atau dapat bernegosiasi dengan pembangunan (development) negara dan masyarakat. Pengalaman mengkampanyekan
Islam moderat selama puluhan tahun yang dilakukan oleh PMII telah menjaga
integritas nasional Indonesia dari berbagai isu sektarian (agama, etnik, dan
golongan) yang berpotensi mengancam kedaulatan teritorial Indonesia dan konflik
dalam skala massive di masyarakat.
Hingga kini, keberagaman di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang tanpa harus
takut terhadap terjadinya homogenisasi oleh kelompok sektarian tertentu.
Selain itu, potensi
lain yang bisa di maksimalkan PMII adalah menggelorakan lagi semangat
Konferensi Asia-Afrika di mana Indonesia menjadi pionirnya, solidaritas
Selatan-selatan, dan terintegrasinya masyarakat ASEAN pada tahun 2015.
Jika global-network dengan negara, civil society, institusi pendidikan,
institusi agama, dan institusi budaya, dan berbagai asosiasi kepemudaan
berhasil dilakukan maka PMII akan menjadi organisasi gerakan mahasiswa yang
bervisi global dan mendapatkan banyak akses untuk terlibat secara aktif. Secara
khusus, global-network dimanfaatkan
untuk mendapatkan akses pendidikan, berupa beasiswa untuk up grading disiplin akademik, bagi kader-kader PMII dan membangun
ikatan emosional serta kerjasama dengan organisasi kepemudaan di negara-negara
tersebut.
[1]
Arab spring tidak hanya sekedar mengganti rezim-rezim di Timur Tengah tetapi
juga secara perlahan menghabisi kekuatan sosial-politik Islam Ahlussunah wal
Jama’ah (Aswaja). Faksionalisasi kelompok Islam saat ini diarahkan hanya kepada
dua kelompok wahabi atau salafi, yang kerap menyebut diri sebagai Sunni, dan
Syi’ah.
[2] Multi-level strategy secara legal
digunakan oleh PMII berdasarkan keputusan Muspimnas 2004 Nomor 09.MUSPIMNAS
2004.PMII.03.2004.
[3]
Pada saat terjadinya krisis
ekonomi global 2008-2009, ekonomi Indonesia berhasil bertahan bahkan menduduki
peringkat atas dunia dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6.5 persen. Potensi
ekonomi Indonesia terlihat dari data-data sebagai berikut. Jumlah penduduk
hampir 250 Juta Jiwa (3.41%) yang merupakan negara dengan penduduk terbesar ke
4 di dunia atau sekitar 6% dari total penduduk Asia dan 42% dari keseluruhan
penduduk di ASEAN. Indonesia memiliki kekuatan tenaga kerja sebesar 116.5 juta
jiwa, tahun 2010, yang tersasar di bidang pertanian (38.3%), industri (12.8%)
dan jasa (48.9%). Selain itu, rata-rata usia penduduk 28 tahun. Dari populasi
keseluruhan, 70% diantaranya berusia kurang dari 40 tahun.
Dilihat
dari sisi pergerakan global, Indonesia adalah negara dengan pelabuhan tersibuk
ke-12 di dunia dan merupakan peringkat ke-4 di ASEAN. International Air Transport
Association (IATA) memperkirakan laju pertumbuhan penerbangan Indonesia, selama
periode 2010-2014, dari penerbangan domestik bisa mencapai 10%/tahun sehingga
pada 2014, jumlah penumpang domestik sebesar 38,9 juta orang (terbesar
kesembilan di dunia), internasional 9,3%/tahun atau menduduki peringkat keenam
di dunia sehingga pada 2014 jumlah penumpang internasional sekitar 22,7 juta
orang. Kontribusi Indonesia dan negara di Asia-Pasifik mencapai 30% bagi lalu lintas penerbangan dunia
pada 2014. Pada 2014, Amerika Utara hanya menyumbang 23%.
Tahun 2011 GDP Indonesia sebesar $823 billion. Meningkat
cukup drastis hanya dalam waktu 2 tahun di mana pada tahun 2009 hanya sebesar
$539 billion. Pertumbuhan ekonomi (annual
growth) terus meningkat. Pada tahun 2009 (4.5%), 2010 (6.1%), dan 2011
(6.2%). Demikian juga dengan income
per capita pada tahun 2010 sebesar $
4,394. Di luar sumber daya manusia, potensi sumber daya alam Indonesia masih
sangat besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar