SELAMAT DATANG DI BLOG RESMI PC PMII KABUPATEN MAJALENGKA MASA KHIDMAT 2013-2014

Jumat, 09 Mei 2014

STRATAK Kaderisasi PMII



Strategi-Taktik Gerakan dan Kaderisasi
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

I. Perubahan Geopolitik Global
Globalisasi merupakan fenomena empat hal. Pertama, etno-scape adalah orang modern yang terus menerus memperbaharui kemodernannya dengan cara mendatangi etnis yang menurutnya terbelakang. Kedua, capital-scape adalah perputaran uang pada ranah global sehingga uang itu sendiri tidak memiliki “kewarganegaraan” lagi. Ketiga, ideo-scape, artinya ide yang dapat melewati batas trans-national. Sebagai contoh, gejala terorisme yang ada di Timur Tengah dapat merembet ke Indonesia. Keempat, media-scape yang mendorong dan mengkonstruksi pemikiran kita. Saat ini kita tidak dapat membendung arus informasi yang semakin kuat pasca adanya teknologi, seperti internet. Konsekuensi dari globalisasi adalah ancaman perang asimetris.
Asymetrical warfare (perang asimetris) mulai dikenal dalam perang Franco-Spanish pada tahun 1823, dan sekarang semakin dianggap sebagai salah satu komponen utama dari peperangan generasi keempat (fourth generation warfare) yaitu perang atau konflik ditandai oleh kaburnya batas antara perang dan politik atau antara tentara dan sipil, dengan ciri menonjol dari peperangan ini adalah melibatkan dua aktor atau lebih, dengan kekuatan yang tidak seimbang yang mencakup spektum peperangan yang sangat luas. Kerajaan Belanda mempraktekan peperangan asimetris ini ketika menjajah Indonesia dengan menjalankan politik devide et impera atau politik pecah belah yang merupakan kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan dan mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat sehingga mampu memerdekakan diri.
Perkembangan mutakhir dari asymetrical warfare ini terlihat jelas dalam kasus Arab Spring[1] di mana sepeninggal rezim-rezim mapan terpecahnya masyarakat yang menolak dikuasai satu sama lain. Mengkristalkan konflik horizontal berdasarkan aliran keagamaan, ideologi, etnik, atau klan. Melalui Arab spring, destabilisasi dan ketidakbersatuan, negara-negara kuat-lama berkehendak mempertahankan hegemoni dan dominasi atas pasokan minyak.
Setelah menggunakan taktik hard power (invasi) berhasil di Afghanistan dan Irak maka langkah berikutnya adalah dengan menggunakan soft power yang menggunakan berbagai kelompok LSM untuk menggalang gerakan sosial menumbangkan rezim. Jika upaya damai terhambat maka langkah berikutnya adalah dengan memberikan donasi, suplai senjata, mengaktifkan para pelarian di luar negeri, dan melegitimasi pihak oposisi sebagai perwakilan resmi negara.
Terjadi juga perebutan pengaruh kawasan di Jalur-jalur perdagangan dan kawasan sumberdaya alam antar kekuatan ekonomi besar dan aliansinya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari ketegangan di Selat Hormuz (Teluk Persia). Bisa dibayangkan jika meletus peperangan di Teluk Persia, maka distribusi 40% minyak dunia ke berbagai belahan bumi dari Teluk akan macet, dan sebagai dampak langsung ialah naiknya harga-harga barang dan jasa akibat melambungnya harga energi karena kelangkaan. Inilah hikmah yang dapat dipetik, betapa tinggi urgensi sebuah selat bagi geostrategi banyak negara. Perebutan pengaruh ini juga terlihat di negara-negara sekitar Selat Malaka yang menjadi jalur perairan tersibuk (di dunia) setelah Selat Hormuz di Teluk Persia. Keberadaan tersebut membuat Selat Malaka dijuluki chokepoints of shipping in the world  baik untuk ekspor-impor, sosial politik, keamanan, lingkungan maupun militer dan lain-lainnya. Data Kementerian Pertahanan menyebut, sejak tahun 1999-2008 kapal-kapal yang melewati Selat Malaka meningkat 74%  dan era 2020-an nanti prakiraan hilir mudik pelayaran mencapai 114.000 kapal. Menurut Goldman Sachs, kelompok negara yang bakal menguasai perekonomian tahun 2050 kelak adalah Brasil, Rusia, India dan Cina (BRIC), terutama sekali Cina dan India yang paling aktif melintasi baik Selat Malaka, Selat Sunda, maupun Selat Lombok. Bagi Indonesia sendiri, selain Selat Malaka atau selat-selat lainnya, tampaknya Selat Sunda tergolong sebagai lintasan utama dalam konteks pelayaran dunia, terutama di lingkungan Asia Tenggara, ASEAN dan kawasan Asia Pasifik. Lebih utama lagi, kevitalan Selat Sunda, adalah pelayaran dari Laut China Selatan menuju Lautan Hindia.
Dalam konteks geopolitik global yang juga perlu dicermati adalah terbentuknya organisasi-organisasi kerjasama baru. Pertama, terbentuknya BRICS. BRICS merupaka akronim dari Brazil, Russia, India, Cina, dan disusul Afrika Selatan (South Africa) yang didirikan di Yaketirinburg, Rusia pada tahun 2009. Kumpulan negara industri baru (new industrial countries) yang semula terkategorisasi sebagai underdevelopment atau third world ini pada tahun 2012 mewakili 40 persen populasi dunia, 25 persen daratan, 20 persen GDP, dan mengontrol 43 persen cadangan devisa global. Kelompok ini bermula hanya fokus pada situasi peningkatan ekonomi dan reformasi institusi keuangan global. Belakangan orientasi BRICS sudah bergeser, sebagaimana dikutip dari pernyataan Presiden Cina, Hu Jintao, baru-baru ini bahwa BRICS merupakan penjaga dan promotor bagi negara-negara berkembang dan sebagai kekuatan perdamaian dunia.
Tampilnya negara-negara BRICS menjadi kekuatan besar ekonomi dunia berdampak pada peningkatan anggaran pertahanan. Situs europiangeostrategy mengklasifikasi Cina sebagai potential superpower di bawah AS yang masuk sebagai superpower, Rusia dan India sebagai great power di tingkat regional, dan Brazil sebagai middle power. Berdasarkan kekuatan ekonomi dan pertahanan maka BRICS memiliki daya tekan yang luar biasa dalam isu-isu ekonomi dan keamanan dunia.
Kedua, terbentuknya Shanghai Cooperation Organization (SCO). Organisasi kerjasama keamanan ini semula bernama Shanghai Five yang didirikan pada tahun 1996 di Shanghai, Cina. Terdiri dari Rusia, Cina, Kazakhstan, Kyrgistan, dan Tajikistan. Setelah masuknya Uzbekistan, tahun 2001, organisasi ini mengalami perubahan nama. SCO berfokus pada kerjasama keamanan, ekonomi, budaya, dan aktivitas militer. Tahun 2004 Mongolia ditetapkan sebagai peninjau dalam partisipasinya di dalam SCO. India, Pakistan, dan Iran menyusul di tahun berikutnya.
Ketiga, terbentuknya “Uni-Eurasia”. Gagasan ini dilontarkan Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin.  Dalam artikelnya yang berjudul "Proyek Integrasi Eurasia Baru: Masa Depan yang Dimulai Hari Ini" (Harian Izvestia, 4 Oktober 2011). Gagasan yang memiliki tujuan "persatuan baru" negara-negara bekas Uni Soviet tersebut berpotensi menjadikan euro-asia sebagai poros kekuatan baru di bawah tatanan baru dunia Rusia dan Cina. Gagasan itu dimunculkan Putin di tengah menurunnya pengaruh Amerika Serikat dan Jepang di Asia-Pasifik, dan melemahnya Uni-Eropa akibat krisis ekonomi. Selain itu Putin juga bermaksud menaikkan pamor Rusia setelah diterima dalam East Asia Summit (EAS). Apa konsekuensinya? Tatanan dunia baru akan menempatkan pengaruh yang kuat Rusia dan Cina atas negara-negara Asia Tengara dan Pasifik Barat Daya yang nantinya mampu mengurangi dominasi Amerika Serikat di kawasan Pasifik. Poros kekuatan baru dunia tersebut menjadi sangat strategis karena membentuk satu aliansi dengan potensi kekayaan alam yang besar. Banyak pengamat yang menganggap gagasan Putin ini sebagai "Uni Soviet" dengan wajah baru dimana Cina tetap merupakan sekutu tradisonalnya. Selain itu, perkembangan wacana geopolitik global tersebut merupakan upaya Rusia untuk menggiatkan tatakelola multilateralnya dengan negara-negara bekas Uni Soviet dan Asia.
Beberapa bentuk organisasi kerjasama multilateral maupun ide baru yang muncul belakangan merefleksikan perubahan geopolitik dunia. Laju dunia saat ini tidak lagi hanya ditentukan oleh Amerika Utara dan Eropa Barat tetapi juga sangat mempertimbangan eksistensi negara-negara yang menjadi kekuatan ekonomi dan militer baru.
Kekuatan lama tidak tinggal diam menerima keadaan dalam menyikapi perubahan pergeseran kekuatan dari Atlantik ke Pasifik. AS telah membangun pangkalan militernya di Darwin dan tetap mempertahankan pangkalan militernya di Jepang untuk mengimbangi pesatnya kekuatan militer Cina. War of position, meminjam istilah Gramsci, dilakukan oleh AS yang memproyeksikan penempatan bertahap 60 persen armada lautnya berada di Pasifik pada tahun 2020 sebagaimana disampaikan oleh Leon E. Panetta, Menteri Pertahanan AS, pada Juni 2012 dalam Shangri-La Dialog di Singapura. Perlombaan pembelian dan produksi senjata canggih di Asia terlihat jelas dari hampir imbangnya anggaran pertahanan negara-negara Asia yang mencapai US $ 262 trilyun pada tahun 2011 dengan negara-negara Eropa yang tergabung di dalam NATO yang berada di bawah kisaran US $ 270 trilyun. Dari jumlah tersebut, anggaran pertahanan Cina mengambil porsi tertinggi sebanyak 30 persen.

II Membaca Dinamika Perubahan Nasional
Sejak 1998 Indonesia mengalami satu perubahan besar. Perubahan ini menyangkut sejumlah hal: reformasi kelembagaan, reformasi ekonomi, dan transformasi masyarakat secara luas. Pertama, reformasi kelembagaan di tingkat Negara yang berhasil menggusur pemerintahan yang otoritarian dan sentralistik ke bentuk pemerintahan yang mencerminkan hubungan pusat dan daerah yang bersifat desentralistik dan memberi ruang bagi otonomi daerah yang lebih luas. Bersamaan dengan itu pula tumbuh lembaga-lembaga baru yang berfungsi melakukan pengawasan kekuasaan, seperti Komnas HAM, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Negara, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, dan lain-lainnya.
Lembaga-lembaga baru ini menjalankan fungsi-fungsi yang spesifik, namun secara umum ditujukan untuk merespon tuntutan masyarakat akan kebebasan (berpendapat, berkumpul dan berserikat), demokratisasi, dan pengelolaan sistem pemerintah yang dilandasi oleh prinsip-prinsip good governance seperti transparansi, akuntabilitas dan rule of law. Perubahan ini juga mencakup kebebasan pers yang memungkinkan tumbuhnya banyak media massa cetak maupun elektronik (online) yang membawa konsekuensi-konsekuensi besar baik negatif maupun positif.
Kedua, reformasi ekonomi. Krisis moneter 1997-1998 yang menyebabkan kebangkrutan ekonomi yang luar biasa, membuat pemerintah RI terjerat utang yang menumpuk dan terpaksa patuh pada lembaga-lembaga donor dan lembaga keuangan internasional untuk melakukan reformasi kebijakan ekonomi. Akibatnya, sejumlah perundang-undangan yang direkayasa dan disusun dibawah tekanan lembaga-lembaga donor itu mendorong pemerintah untuk meliberalisasi perdagangan dan privatisasi pengelolaan sumberdaya ekonomi di sector-sektor strategis seperti Migas, Minerba, dan lainnya. Dalam hal ini kita kalah dalam "strategi": lewat aturan perundang2an, dan SDM kalah Berbeda dg strategi Cina yg menyekolahkan dulu SDM dipersiapkan untuk mengelola SDA sendiri
Terjerat pinjaman utang yang bukannya tanpa syarat itu, pemerintah RI berhasil didikte untuk mengubah “space of law”, seperti UU Migas, UU Minerba, dan lain-lain yang pada akhirnya membuka “space of place” (ruang wilayah) seperti megaproyek MP3EI dan eksploitasi sumber-sumber daya alam strategis yang dimiliki rakyat. Oleh karena itu, meskipun negara ini mampu keluar dari krisis, semua “kemajuan” (mis. diukur dari pertumbuhan ekonomi rata-rata 6%) harus dibayar dengan hilangnya aset-aset strategis negara, melemahnya kemandirian pengelolaan sumberdaya alam, dan pertumbuhan ekonomi yang tak menyentuh sektor-sektor ekonomi riil masyarakat. Reformasi ekonomi harus diakui cenderung dinikmati oleh sekelompok elit belaka, baik elit lama maupun elit baru yang berhasil merapat atau memeroleh sokongan dan membentuk oligarki politik-ekonomi baru.
Gejala perubahan besar yang ketiga adalah transformasi kemasyarakatan dan kebudayaan yang begitu cepat dan bisa dianggap “liar” yang entah itu berkaitan langsung ataukah tidak langsung secara struktural dan institusional dengan dua perubahan besar di atas. Di ranah ini, sikap pragmatis, hedonis dan konsumeris menjadi gaya hidup utama kehidupan sehari-hari. Arus globalisasi yang diterima tanpa filter (sebagai alat/sarana sekaligus nilai) telah mengkooptasi kesadaran sosial yang membuat selera pasar bukan hanya menjadi penanda status sosial seseorang, tetapi menjadi tempat perburuan kenikmatan yang tanpa ujung, tanpa jeda, dan tanpa mempertanyakan cara apapun bisa ditempuh (termasuk suap dan korupsi).
Praktek menghalalkan segala cara (budaya instan) bukan hanya dikatalisasi oleh globalisasi produk-produk budaya, nilai dan gaya hidup, tetapi juga kesempatan yang tersedia dan kebutuhan akan identitas atau prestise pada masyarakat transisi yang salah satunya ditandai oleh mobilitas vertikal yang sangat cepat. Mobilitas mendadak ini melahirkan culture shock yang menggunakan semangat “aji mumpung” untuk meraih dambaan material sebesar-besarnya sebagai pelampiasan dendam kemiskinan masa lalu. Sementara bagi mereka yang sudah mapan membutuhkan sabuk pengaman (safety belt) untuk melestarikan kenyamanan baik setelah mereka pensiun maupun untuk kelangsungan anak cucu.
Transformasi kebudayaan ini mencakup sikap-sikap materialisme di mana kekayaan material menjadi satu-satunya ukuran kesuksesan. Simbol-simbol material dan prestise yang bersifat artifisial dikejar lewat jalan pintas dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji, termasuk merampas ruang publik (media, pendidikan) dan mencuri hak-hak publik (korupsi pajak, perampasan tanah, dan sumber daya alam). Tanpa suatu counter-culture yang memadai, konsumsi budaya material semacam ini ikut menjerat masyarakat dan kita ke dalam budaya pasar dan mendorong masuk ke dalam suatu prilaku anarkis baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Di tengah situasi masyarakat yang prihatin, konsumerisme dan hasrat mengejar prestise yang artifisial semacam itu adalah pertunjukan kekuasaan atau sejenis ketamakan yang diam-diam dipamerkan. Di lain tempat atau di ruang politik, korupsi dan money-politics dalam proses-proses pemilu adalah sejenis penghinaan terhadap rakyat.
Dalam situasi yang akumulatif seperti ini kita menemukan ironisme. Demokrasi memang berkembang secara prosedural, tapi nilai-nilai dan kearifan lokal masyarakat justeru merosot. Pemilu digelar secara rutin dan agen-agen politisi baru menempati lembaga-lembaga penentu kebijakan. Tapi justru di situlah agen-agen mediokratik ini menikmati hak-hak demokrasi tanpa memproduksi nilai-nilai kepublikan. Elit politik dengan mudah mengisi ruang demokrasi itu dengan persengkongkolan bisnis-politik untuk kepetingan menjarah negara baik sumber-sumber ekonominya maupun nilai-nilai dasar kepublikan politiknya.
Oleh karenanya bisa dikatakan bahwa setelah lebih dari satu dekade umur reformasi Indonesia belum benar-benar keluar dari krisis. Demokrasi menjadi kemerosotan nilai, kebebasan bergeser menjadi anarki. Gejala-gejala krisis ini paling tidak mengambil bentuk hal-hal berikut ini:

Gejala 1: Korupsi dan suap menjadi praktek sosial
Bukan rahasia lagi, para pejabat yang berkuasa banyak melakukan berbagai praktek penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan menerima suap. Mereka berasal dari lembaga-lembaga negara mulai eksekutif (menteri, birokrat, kepala daerah), lembaga legislative (DPR dan DPRD) dan lembaga yudisial (hakim), serta melibatkan lembaga penegak hukum (polisi dan jaksa). Bentuknya bisa beraneka ragam mulai dari yang paling terang-terangan sampai gelap-gelapan. Spektrumnya bisa sangat luas dari menghapus atau menyelipkan pasal-pasal ketika menyusun perundang-undangan, sampai kongkalingkong antara actor politik dan pengusaha atau antara petugas dan pembayar pajak. Kendatipun upaya-upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan, tidak bisa dimungkiri bahwa kenyataannya selalu ada upaya serangan balik dari para koruptor atau pihak-pihak yang kepentingannya terancam, untuk menggagalkan atau melemahkan institusi pemberantasan korupsi.
Bila kita cermati fenomena korupsi dan praktek suap yang akut ini maka bisa dianalisasi bahwa akar politik-ekonominya adalah anarki dalam perebutan alokasi dan distribusi sumberdaya ekonomi, sementara akar budayanya dibalut oleh pengejaran tanpa akhir terhadap kedudukan, status sosial, gaya hidup dan prestise sosial dengan konsumsi budaya material sebagai penyangga utamanya. Pragmatisme individual dan kenikmatan pribadi ditonjolkan, sebaliknya kepentingan bangsa ditinggalkan.

Gejala 2: Produk Perundang-undangan yang merugikan rakyat
Ada banyak produk peraturan perundang-undangan yang berpotensi kuat merugikan rakyat karena lahir dari  sistem perekonomian Indonesia yang berwatak kolonial. Sejak awal reformasi ekonomi bahkan sebagian jauh sebelumnya pada era Orde Baru, berbagai revisi perundangan-undangan bercorak liberal dilakukan untuk memenuhi tekanan internasional yang menghendaki system perekonomian Indonesia yang pro-pasar seluas-luasnya. Ini adalah bagian dari skema ekonomi yang sepenuhnya didikte oleh kepentingan lembaga-lembaga donor dan keuangan internasional yang berkolaborasi dengan korporasi multnasional untuk mengeruk kekayaan bumi Indonesia. Dengan dalih untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, lembaga-lembaga tersebut bukan saja menggelontorkan utang kepada RI, tetapi juga menuntut konsesi agar RI membuka diri terhadap investasi asing, privatisasi dan liberalisasi perdagangan dan keuangan lewat reformasi kebijakan.
Situasi ini semakin berlanjut ketika RI dililit utang saat krisis ekonomi 1997 dan IMF kembali memaksakan resep ekonomi dalam bentuk program penyesuaian structural (structural adjustment policy) agar pemerintah membuka seluas-luasnya terhadap pasar dan investasi. Sejumlah peraturan perundangan-perundangan pun lahir, seperti  UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Migas, UU Sumberdaya Air dan lainnya. Selain RI dijajah lewat perundang-undangan, lemahnya SDM dan teknologi yang ketinggalan menjadi alasan penyerahan pengelolaan SDA dan sector finansial dikuasi asing. Dus, sistem hukum ekonomi RI tidak berpihak pada kemandirian, sementara aktor-aktor dalam pemerintah tidak memiliki keberpihakan pada rakyat.

Gejala 3: Merosotnya kebajikan bersama (common good) dan kesukarelaan
Ada fenomena sosial yang berkembang pesat di tengah-tengah masyarakat kita belakangan ini yakni suatu praktis sosial yang ditandai oleh merosotnya kesadaran bersama tentang tanggung jawab, kebajikan bersama, saling percaya dan kesukarelaan. Dalam hampir semua kagiatan, uang dan imbalan materi lainnya menjadi dasar bagi berlangsungnya partisipasi warga. Dalam semua kegiatan itu, segala aktivitas dijalankan secara transaksional. Sementara kesukarelaan, keikhlasan, dan altruism sebagai basis tindakan sosial kolektif berkurang. Datang ke pertemuan-pertemuan komunitas, rapat-rapat organisasi, kampanye partai, preferensi pilihan dalam pemilu, kesediaan untuk membantu dan bersolidaritas dan lain-lainnya hampir-hampir saja mustahil tanpa melibatkan imbalan dalam bentuk yang berbeda-beda. Secara sinikal fenomena ini dinyatakan lewat ungkapan “wani piro?” pada sebuah iklan produk di televisi dan tiba-tiba menjadi sedemikian popular dalam perbincangan sehari-hari. Pada giliran gejala ini menjadi habitus sosial dimana imbalan dan uang tiba-tiba menjadi sangat penting dan menentukan kebaikan bersama (common good).

Gejala 4: Intoleransi dan Kekerasan
Apa yang membuat gusar kita hari ini adalah bahwa demokrasi menjadi “democrazy”, dan kebebasan menjadi anarki. Orde reformasi yang mengakhiri belenggu otoritarianisme dan sentralisme pemerintahan Orde Baru, ternyata berkembang sedemikian jauh sehingga kebebasan terasa melampaui batas yang menghancurkan ikatan batin kita sebagai sebuah bangsa. Meningkatnya intoleransi terhadap perbedaan identitas dan disharmoni sosial yang diwarnai dengan aksi kekerasan seolah-olah menjadi harga yang harus dibayar. Kekerasan dan intimidasi semacam ini seringkali digunakan sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan masalah, sementara dialog rasional, kritis dan dari hati ke hati dianggap sebagai jalan yang bertele-tele. Hal yang amat menggelisahkan kita juga adalah capaian demokrasi yang menyediakan kebebasan ternyata digunakan oleh sebagian kelompok untuk memaksakan keyakinannya atas yang lain berdasarkan superioritas dan klaim kebenaran tunggal. Dalam konteks ini, kebersamaan dilukai dan kebhinnekaan dicampakkan.

Gejala 5: Media Massa sebagai alat propaganda ekonomi, politik dan budaya
Pers bebas dianggap sebagai salah satu elemen pilar demokrasi. Fungsinya sebagai medium informasi public sangat efektif untuk menyampaikan pesan, protes dan bahkan alat control kekuasaan. Kendati demikian, media massa baik cetak maupun elektronik tak diragukan lagi menjadi salah satu kekuatan penting dalam pembentukan opini public ketimbang sekedar menyalurkan pandangan dan pendapat masyarakat. Sering kita lihat media massa membawa sendiri pesan politiknya atau bahkan membawa pesan pesanan orang lain. Kerap kali pula media massa menyamarkan peran sebenarnya sebagai actor yang juga memiliki kepentingan politik atau ekonomi terkait owner-nya.
Dalam konteks ini, media massa seringkali menyajikan berita atau informasi yang terseleksi dan tidak berimbang bahkan pada momen-momen tertentu bersifat disinformatif dimana public dihadapkan pada situasi yang sulit mencerna antara informasi yang benar, gossip atau propaganda politik. Lebih dari itu semua, media massa cenderung  menampakkan diri sebagai alat ideologis dari suatu kebudayaan besar yang memanfaatkan pasar konsumen Indonesia sebagai objek distribusi produk-produk luar yang dibarengi dengan industri gaya hidup yang hedonis dan konsumeris yang merayu public. Dus, media massa hari ini bukan hanya agen informasi yang merepresentasi kepentingan ekonomi dan politik kelompok-kelompok kepentingan tertentu, tetapi sekaligus agen kebudayaan penting yang melemahkan kepribadian kebudayaan masyarakat sendiri.

Gejala 6: Ekstrimisme agama
Ekstrimisme keagamaan muncul karena pandangan melampaui batas yang dianut oleh sekelompok aliran yang memahami ayat-ayat suci secara tekstual tanpa mempertimbangkan konteks sosial, kesejarahan dan lokalitas. Di Indonesia, ekspresi ekstrimisme keagamaan ini muncul dalam bentuk mulai dari sesat-menyesatkan, kafir-mengkafirkan, kengganan untuk berdialog secara sehat dan adil, hingga tindak kekerasan dan kehendak untuk mengganti ideologi negara dengan ideologi khilafah.
Tidak bisa dimungkiri bahwa ideologi ekstrimisme ini terus menerus diproduksi dan direproduksi baik melalui perebutan masjid-masjid maupun lewat sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Yang lebih menggusarkan lagi, semakin lama ideologi ini berkembang di kalangan mahasiswa dan anak-anak muda yang bagaimanapun keberadaannya bisa merobek-robek corak pandangan keagamaan masyarakat yang tawasuth dan ramah terhadap tradisi budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Bagaimana cara memahami secara lebih tepat gejala-gejala krisis politik dan kebudayaan di Indonesia yang sedang berubah ini dengan situasi dan kondisi-kondisi yang terjadi di arena global? Kapan situasi local terkait dengan situasi global, dan kapan pula yang local berkembang dalam dinamikanya?
Adalah globalisasi yang memungkinkan peristiwa yang terjadi di suatu tempat berpengaruh terhadap kejadian di tempat lain yang berbeda. Globalisasi dicirikan oleh “intensifikasi relasi-relasi sosial mendunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas yang berjauhan dalam satu cara yang sedemikian rupa sehingga kejadian yang berlangsung di suatu tempat tertentu dibentuk oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi bermil-mil jaraknya, dan demikian pula sebaliknya”. Secara kelembagaan relasi-relasi mengglobal ini didukung oleh kapitalisme, industrialisme, sistem negara bangsa, dan militerisme. Perkembangan teknologi yang semakin pesat memungkinkan kemajuan pesat pula pada empat institusi di atas sehingga relasi-relasi antar peristiwa dan kejadian semakin intensif.
Globalisasi juga ditandai oleh konsep-konsep seperti etno-scape dimana orang modern terus menerus memperbaharui kemodernannya dengan cara mendatangi etnis yang menurutnya terbelakang; capital-scape dimana perputaran uang pada ranah global sehingga uang itu sendiri tidak memiliki “kewarganegaraan” lagi; ideo-scape, artinya ide yang dapat melewati batas trans-national. Sebagai contoh, gejala terorisme yang ada di Timur Tengah dapat merembet ke Indonesia; dan media-scape yang mendorong dan mengkonstruksi pemikiran kita. Saat ini kita tidak dapat membendung arus informasi yang semakin kuat paska adanya teknologi, seperti internet. Misalnya: peristiwa G30S terkait dengan perebutan pengaruh dalam perang dingin antara blok Barat dan Blok Timur; demonstrasi aktifis PKS di KFC Surabaya berhubungan erat dengan film “The Innocence of Muslim” yang dibuat di Amerika; atau naiknya harga minyak di pelosok desa Kulon Progo terkait erat dengan ketegangan politik dan militer di Selat Hormuz, Teluk Persia.
Kendati demikian, bukan berarti lokalitas sepenuhnya ditentukan secara total dan menyeluruh oleh situasi global. Lokalitas juga memiliki dinamika sendiri akibat dari basis material dan kebudayaan dimana proses persaingan dan aspirasi kepentingan, pandangan hidup dan ide-ide antar actor dan kelompok-kelompok dalam masyarakat tersebut berlangsung. Dinamika antar aktor ini sangat menentukan apakah lokalitas tunduk pada skenario global, mengabsorbsi, menegosiasi atau justeru melawannya.
Situasi ini sebenarnya bisa diprediksi dan diramal meskipun tidak secara tepat sempurna. Karena itu selalu ada jalan untuk mengantisipasi, membangun strategi, dan menyusun agenda bersama.

III. Membaca Kondisi PMII
Dalam satu dekade terakhir kita menyadari bahwa organisasi pergerakan kita telah berkembang sedemikian pesat baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Terbukti bahwa PMII sudah  berada di hampir semua universitas dan perguruan tinggi di Indonesia dengan kuantitas kader yang sangat bervariasi. Di antara organisasi sejenis pun PMII menjadi organisasi dengan jumlah cabang dan cakupun wilayah terbesar di Indonesia. Era reformasi telah membuka peluang pengembangan PMII secara lebih massif. Apalagi dukungan kader alumni yang berhasil melakukan mobilitas vertikal dan menempati jabatan-jabatan politik di birokrasi pemerintah, lembaga-lembaga negara non-departemen (KPU, Panwaslu, KPI, misalnya) maupun lembaga legislatif (jadi tidak hanya di LSM saja) tidak bisa dimungkiri sangat membantu perkembangan ini. Namun demikian, di luar perkembangan positif yang kita rasakan, kita juga mencatat sejumlah hal yang kurang membesarkan hati.
Sebelum bergerak ke berbagai masalah internal PMII berikut diajikan sejumlah data yang didapat selama Rakornas Bidang Kaderisasi tanggal 14-18 Februari 2012 bertempat di Jakarta.
Ruang lingkup rekrutmen: 1) mayoritas kader PMII memiliki keterkaitan dengan Nahdlatul Ulama, seperti dalam bentuk latar belakang keluarga, masyarakat, dan pendidikan; 2) sebanyak 95% menyatakan bahwa anggota/kader PMII tidak berlatar belakang keluarga PMII; 3) secara umum, proses rekrutmen anggota PMII di beberapa kampus tidak melalui proses pendekatan akademik (ilmiah), tapi melalui proses pertemanan dan 56% responden menyatakan kader yang bergabung di PMII tidak didasari oleh minat (keinginan dengan sadar) untuk bergabung ke PMII; 4) kebanyakan (65%) responden menyatakan tidak melakukan test identifikasi potensi diri dan test kecenderungan aktif di PMII dalam proses rekruitmen anggota. Sebanyak 51% responden juga menyatakan tidak pernah melakukan kegiatan pra Mapaba dalam proses rekruitmen, dan; 5) faktor penghambat yang dominan dalam proses pengkaderan di kampus adalah keterbatasan aspek financial, intervensi kampus, dan stigma buruk anggota/kader PMII. Sedangkan keberadaan PMII sebagai organisasi minoritas, dalam suatu kampus, tidak dinilai sebagai hambatan.
Ruang lingkup ideologisasi: 1) Sekitar 80% responden menyatakan dalam 1 tahun melakukan Mapaba lebih dari 1 kali dan 78% menganggap materi yang ada di Mapaba masih efektif sebagai sarana ideologisasi; 2) Sebanyak 49% responden menyatakan materi Mapaba tidak sesuai dengan karakteristik kampus umum dan ada 17% menyatakan materi tersebut tidak sesuai dengan karakteristik kampus agama, dan 73% responden menganggap metode yang digunakan saat ini sudah membantu proses ideologisasi yang diharapkan; 3) Sebanyak 88% responden menyatakan bahwa pemateri Mapaba saat ini sudah memiliki kompetensi dalam menyampaikan materi; 4) Sebanyak 61% responden tidak mengacu pada buku multi level strategi dalam pelaksanaan Mapaba, dan ada 5%  (2 cabang) yang menyatakan belum pernah mengenal buku multi level strategi; 5) 78% responden menyatakan perlu ada materi tambahan dalam menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) anggota/kader terhadap organisasi, dan; 6) Secara umum, kegiatan follow up Mapaba yang paling banyak dilakukan oleh PC dalam bentuk diskusi nonformal.
Ruang lingkup peran aktif dan daya juang: 1) Sebanyak 83% responden tidak bisa melaksanakan PKD lebih dari 2 kali dalam 1 tahun. Sebanyak 56% menyatakan terdapat pengurus komisariat yang belum lulus PKD. Padahal, 78% responden menilai PKD adalah proses penempaan utama untuk membangun kompetensi kader dalam mengorganisasikan institusinya; 2) Ada sebanyak 44% responden menilai materi PKD tidak sesuai dengan karakteristik kampus umum dan ada 20% menilai materi tersebut juga tidak sesuai dengan karakteristik kampus agama; 3) Sebanyak 78% responden menyatakan bahwa pemateri PKD saat ini sudah memiliki kompetensi dalam menyampaikan materi dan 73% menganggap materi PKD sudah mampu menumbuhkan kesadaran berperan aktif dan berdaya juang bagi kader PMII; 4) Sebanyak 44% responden menyatakan pelaksanaan PKD tidak mengacu pada buku multilevel strategi, dan; 5) Follow up yang dilakukan oleh cabang setelah PKD sebagian besar dilakukan dalam bentuk diskusi nonformal dan informal.
Ruang lingkup supporting system dan leading sector: 1) Sebanyak 93% responden menyatakan tidak bisa melakukan PKL lebih dari 1 kali dalam 1 tahun; 2) Sebagian besar (63%) responden meyakini, kader yang lulus PKL tidak memiliki orientasi untuk menduduki the leading sectors, dan 66% materi dan metode yang dilaksanakan dalam PKL tidak mendukung kader untuk survive di ranah the leading sectors; 3) sebanyak 54% responden menyatakan pemateri yang ada saat ini tidak memiliki kompetensi dalam menyampaikan materi PKL, dan; 4) Mayoritas responden menghendaki, model PKL yang diharapkan dapat mengarah pada survive kader pada ranah the leading sectors (spesialisasi profesi) adalah dalam bentuk penugasan social research dan pelatihan keprofesian.
Ruang lingkup assesment dan evaluasi: 1) Sebanyak 63% mengaku melakukan penilaian terhadap daya serap peserta setelah menerima materi dalam setiap jenjang pengkaderan atau pelatihan. Dan sebanyak 83% mengaku melakukan penilaian terhadap setiap metode dan narasumber dalam pengkaderan dan pelatihan; 2) sebanyak 56% responden juga mengaku melakukan penilaian terhadap perkembangan akademik dan peran aktif kader dalam berorganisasi, dan; 3) Sebanyak 41% responden menyatakan melakukan penilaian dan evaluasi kinerja organisasi setiap 3 bulan sekali dan 31% menyatakan tidak pernah melakukan penilaian dan evaluasi terhadap kinerja organisasinya.
Ruang lingkup relasi PMII dengan alumni: 1) Sebanyak 73% responden menyatakan bahwa alumni membantu secara financial setiap pengkaderan yang dilakukan. Sebanyak 45% juga menyatakan bahwa bantuan financial dari alumni dalam setiap pengkaderan kurang dari 25% biaya yang dibutuhkan; 2) Sebanyak 85% responden juga menyatakan bahwa alumni senantiasa memberikan gagasan konstruktif dalam penguatan institusi dan pengembangan kualitas kader; 3) Sebanyak 68% responden menyatakan keberadaan organisasi alumni (IKA PMII) tidak mampu mendorong peningkatan peran alumni pengembangan dan penguatan institusi PMII, dan; 4) Sebanyak 61% responden juga menyatakan, bahwa alumni tidak melakukan peran distribusi kader potensial ke ranah produktif.
Sesi analisa potensi diri dan tantangan secara kuantitatif tersusun dalam empat ruang lingkup: potensi kader dan mandat sosial, proyeksi realitas dan visualisasi tantangan, kapasitas yang dibutuhkan kader, dan pemetaan pilihan kebutuhan kader. Sesi ini berlangsung pada tanggal 16 Februari 2012 bertempat di Gedung Serbaguna 3 Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur.
Secara garis besar, angket potensi diri dan tantangan dapat disimpulkan sebagai berikut: Ruang lingkup potensi kader dan mandat sosial: 1) latar belakang kampus kader sebanyak 41% kampus umum dan 59% berasal dari kampus agama; 2) kampus agama negeri 65% dan sisanya berasal dari kampus swasta; 3) kampus umum negeri 64% dan sisanya berasal dari kampus swasta; 4) 53% kader berasal dari jurusan tarbiyah atau pendidikan, syariah atau hukum 15%, FISIP, ekonomi, dan TIK masing-masing 6%, teknik, Mipa, filsafat atau ushuludin, kesehatan, dan pertanian masing-masing 3%; 5) pekerjaan orang tua yang berasal dari unsur petani dan nelayan sebanyak 50%, wiraswasta 24%, buruh atau karyawan sebanyak 15 %, PNS sebanyak 9%, dan guru sebanyak 3%; 6) latar belakang pendidikan orang tua sebanyak 47% lulusan SD, 35% sekolah menengah, 15% perguruan tinggi, dan 6% tidak tamat sekolah dasar; 7) sumber pembiayaan kuliah dari orang tua sebanyak 65%, mandiri dan beasiswa sebanyak 29%, dan hanya dari beasiswa sebanyak 6%; 8) latar belakang pendidikan kader sebelum atau pra kuliah sebanyak 61% alumni madrasah aliyah, 27% alumni SMU, dan 12% alumni SMK; 9) fokus akademik yang diminati sebanyak 74% menyatakan sesuai dengan disiplin akademik dan sisanya sebanyak 26% menyatakan tidak sesuai; 10) potensi ekonomi wilayah kader sebanyak 53% menyatakan berada di wilayah dengan potensi pertanian, perkebunan, perikanan atau kelautan, dan peternakan, 15% di kawasan industrial, 12% perkebunan dan perikanan, 9% di daerah perdagangan dan jasa, 9% di daerah perkebunan dan pertambangan, dan pertambangan sebanyak 3%;
Ruang lingkup proyeksi realitas dan visualisasi tantangan: sebanyak 29% menyatakan terbatasnya network (jaringan), kapasitas atau kompetensi kader mencapai 27%, lingkungan sosial, budaya, dan politik sebesar 18%, keterbatasan modal ekonomi 12%, terbatasnya lowongan pekerjaan 10%, dan aspek birokrasi yang menghambat sebanyak 4%.
Ruang lingkup kapasitas yang dibutuhkan kader: sebanyak 44% menjawab kapasitas yang dibutuhkan adalah ideologi, kepemimpinan, network, dan kompetensi, menyatakan hanya kompetensi sebesar 21%, kompetensi 16%, network 16%, dan ideologi 3%.        
Ruang lingkup pemetaan pilihan sektor kader: sebanyak 26% ingin menjadi akademisi atau intelektual, 26% ingin menjadi entrepreneur atau industriawan, 18% ingin menjadi PNS atau berada di dalam lembaga negara, 15% ingin menjadi profesional, 9% ingin berkiprah sebagai aktivis lembaga sosial kemasyarakatan, dan 6% menjadi politisi.

Dari data kuantitatif dan kualitatif selama Rakornas Bidang Kaderisasi setidaknya tersaji delapan masalah sebagai berikut:

Masalah Pertama: Sumberdaya Anggota
Kaderisasi dijalankan setiap tahun dan menghasilkan anggota yang melimpah. Tapi harus diakui, semua proses di dalamnya belum menjamin terciptanya kader-kader yang mumpuni dibidangnya dan berkarakter sebagai leader. hendak berkecimpung dan berkontribusi pada sektor-sektor kehidupan sosial, ekonomi, akademik dan politik.
Hampir di semua universitas dan perguruan tinggi di Indonesia, sudah ada rayon atau komisariat PMII di sana. Tetapi di sejumlah kampus memperlihatkan bahwa organisasi PMII belum menjadi pilihan utama, bahkan di beberapa kampus negeri atau swasta yang dinilai qualified PMII belum ada apalagi untuk berkembang pesat. Mengenai hal ini ada beberapa sebab. Pertama, PMII dianggap kurang memberi nilai tambah bagi mahasiswa dan para anggotanya sehingga kurang memiliki daya tarik secara kualitatif (prestasi). Kedua, aktivitas pemikiran dan kegiatan-kegiatan PMII tidak nyambung dengan kebutuhan-kebutuhan yang berkembang di lingkungan kampus yang selalu bersifat khas. Ketiga, PMII kurang memiliki daya tarik psikologis dan simbolik kepada mahasiswa karena kurang mampu mengelola organisasinya sebagai institusi mahasiswa bergengsi dan mengemas citra kadernya sebagai agen perubahan sesuai dengan citra diri kader PMII.

Masalah Kedua: Kehidupan Intelektual
Ada sejumlah hal yang kurang menggembirakan dalam dunia intelektual kita. Gairah intelektual tak sebergairah masa lalu. Sebenarnya ini sangat ironis, karena banyak informasi dan bacaan yang tersedia di internet. Bahan-bahan bacaan juga bisa diakses lewat perpustakaan. Memang semangat untuk meraih prestasi kesarjanaan (akademis) sudah sangat maju dan tak perlu khawatir bahwa semangat ini akan terus berkembang di kalangan warga pergerakan. Hanya saja ada gejala baru yang khas modern, yakni menurunnya kegemaran membaca ide-de besar dan  bergulat dengan gagasan-gagasan besar. Sekarang ini iklim mahasiswa cenderung pragmatis, mereka memilih terjun pada pengetahuan yang sempit dan terspesifikasi.
Kendati demikian, PMII jangan meratapi penurunan membaca ide-ide besar ini, karena memang ada konteks akademis yang berubah. Watak keilmuan sudah berbeda dan semakin terspesialisasi. Tapi kita tidak boleh rela dengan penurunan ini. Spesialisasi keilmuan warga pergerakan sangat penting karena negara ini membutuhkan para ahli yang mendalami pengetahuan yang spesifik dan kompeten dalam bidang-bidang yang khas. Karakter intelektual semacam ini memang dibutuhkan agar negara maju mengejar ketertinggalan. Meskipun begitu sebagai organisasi yang berupaya mencetak kader menjadi seorang leader, pengetahuan yang spesifik ini tidaklah cukup. Seorang kader PMII harus memiliki kompetensi dan keahlian dalam bidang tertentu sekaligus juga memiliki visi leadership.

Masalah Ketiga: Reputasi Organisasi
Reputasi organisasi menyangkut wibawa institusi, pimpinan dan kader pergerakan. Idealnya reputasi organisasi ini ditentukan oleh integritas, prestasi akademik dan sepak terjang kadernya di medan pergerakan. Misalnya sejaumana kader-kader pergerakan mencerminkan nilai-nilai dan pergerakan dan citra diri kader di lingkungan akademik dan sosialnya, dan pada akhirnya peran mereka dalam mengambil kepemimpinan untuk merespon isu-isu sosial dan politik yang berkembang di sekitarnya. Memiliki kader-kader yang berprestasi atau menempati jabatan-jabatan sosial-politik dan dilingkungan kampus jelas akan meningkatkan reputasi PMII sebagai organisasi kader, begitu pula inisiatif-inisitif untuk mendorong tampilnya PMII dalam pentas pergerakan.
Membangun reputasi sangat penting untuk menambah daya tarik organisasi dihadapan calon-calon anggota, dan bagi anggota kader sendiri untuk menambah kebanggaan dan kepercayaan dirinya. Masyarakat juga tidak akan meragukan kiprah PMII sebagai organisasi kemahasiswaan yang memiliki integritas, responsive dan mengemban tanggung jawab sosial. Bagaimanapun reputasi PMII masih kalah dengan organisasi-organisasi lain yang lebih tua meskipun peran yang dimainkan belakangan ini semakin meningkat.



Masalah Keempat: Kesiapan Menempati Sektor-Sektor Strategis
Diantara kegusaran yang kita alami sekarang ini adalah minimnya kader-kader PMII yang mempersiapkan diri untuk berkiprah di sektor-sektor penting seperti finansial, pertambangan dan perminyakan. Umumnya dunia politik masih merupakan wilayah pengabdian favorit kader pergerakan dalam menjalani karirnya. Sebagian besar berkecimpung di dunia akademik di kampus-kampus, meskipun kenyataannya kuantitasnya masih belum menggembirakan terutama kiprahnya di kampus-kampus negeri maupun swasta bergengsi. Padahal kenyataannya sektor-sektor yang tersebut di atas terbukti sangat menentukan kehidupan perekonomian nasional. Bahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang sepenuhnya oleh pertambangan yang diekploitasi secara besar-besaran. Ironisnya, sebagian besar sector ini dikuasai oleh asing yang berkolaborasi dengan elit-elit bisnis-politisi nasional yang memiliki kepentingan untuk ikut menjarah kekayaan negara.
Kebanyakan kader-kader PMII enggan memasuki sektor-sektor ini, atau memang tidak ada kader PMII yang mengambil spesialisasi dan kompetensi di bidang-bidang tersebut. Bisa dikatakan bahwa sektor ini merupakan wilayah asing, tak tersentuh dan terisolasi dari wacana dan social activism kader PMII. Kendatipun kaderisasi sudah berekspansi ke kampus-kampus umum, fakultas-fakultas favorit dalam bidang-bidang tersebut masih belum dijangkau.

Masalah Kelima: Perangkat nilai yang konstruktif dan sistemik
Sebagaimana setiap organisasi, sistem nilai adalah ruh pergerakan, adapun struktur dan perangkat organisasi merupakan tubuhnya. Tanpa sistem nilai atau ideologi ini mustahil organisasi tersebut bisa bergerak, dan struktur dan perangkat tersebut tak mungkin pula ia merealisasikan tujuan hidup dan keberadaannya. Sistem nilai PMII ini terumuskan dalam suatu doktrin normative bernama NDP atau Nilai-Nilai Dasar Pergerakan, yang isinya merupakan sublimasi dari nilai-nilai keaswajaan dan keindonesiaan. “Keaswajaan” sendiri bisa dikatakan satu dimensi spiritualisme ideologis kaum pergerakan yang bersifat khas kaum ahlus-sunnah wal-jamaah di mana segala aktivitas PMII pada dirinya sendiri adalah suatu bentuk ibadah kepada Sang Penguasa Semesta Jagad Raya.
Dalam doktrin Aswaja, manusia adalah kholifah fil-ardh, pemimpin/penguasa di dunia. Karena itu menjadi tugas besar setiap kader pergerakan untuk memanggul tanggung jawab itu dalam rangka merealisasikan visi rahmatan lil-alamin. Dan seorang pemimpin, atau kolektivitas kepemimpinan, adalah pemimpin dunia yang pada akhirnya harus menghadapi realitas “dunia yang apa adanya dengan seluruh seluk beluknya”. Dengan kata lain, seorang kholifah (PMII sebagai “kholifah kolektif”) perlu dilengkapi satu perangkat metodologis untuk memahami “dunia yang apa adanya dengan seluruh seluk beluknya” itu untuk memandu gerak langkah kaum pergerakan untuk mencapai cita-citanya abadinya. Perangkat itulah yang kita namakan: “paradigma gerakan”.
Masalah kita adalah kini dirasakan oleh para kader pergerakan akan pentingnya suatu paradigm gerakan yang relevan dengan gerak jaman, dengan situasi dunia yang sedang berubah. Masalah itu tercermin dari satu pertanyaan: Apakah Paradigma Kritis Transformatif (PKT) masih relevan bagi PMII kini dan yang akan datang?
Sebagian berpendapat bahwa argumen-argumen yang mendasari PKT sudah rontok. Dengan demikian, PKT sudah tidak relevan sama sekali. Sayangnya, dasar alasannya kurang diuraikan: kurang menjawab mengapa rontok, bagian mana yang rontok; apakah rontoknya pada sebagian asumsi ataukah rontok pada asumsi-asumsinya secara keseluruhan. Lalu pendapat ini menawarkan suatu paradigma baru yang diberi nama “Paradigma Berbasis Realitas”. Terhadap paradigma baru ini pun masih bisa diajukan satu pertanyaan: apakah paradigm ini berbasis pada filsafat pragmatisme? Lalu apakah paradigm baru ini koheren dengan seluruh sistem nilai yang selama ini dianut oleh PMII?
Selain Paradigma Berbasis Realitas, ditawarkan pula “Paradigma Menggiring Arus” (PMA). Di dalam ilmu sosial atau ilmu politik dan hubungan internasional, sebenarnya tidak dikenal jenis paradigma semacam ini. Nampaknya gagasan ini dicetuskan dari hasil bacaan baru terhadap dinamika realitas dunia belakangan ini dalam wawasan geopolitik dan teori sistem dunia. Namun harus diakui perspektif PMA tetaplah bersifat “kritik struktural” sebagaimana asumsi dasar yang digunakan dalam PKT Hanya saja yang membedakan keduanya adalah pada “unit analisis”-nya. Jika unit analisis PKT adalah negara, maka unit analisis PMA adalah sistem-dunia. Dan bila PKT masih kuat terpengaruh oleh teori modernisasi, pada PMA kuat terpengaruh oleh varian dalam teori globalisasi. Kendati begitu keduanya (baik PKT maupun PMA) disatukan oleh perspektif “kritik struktural”. Dus, paradigmanya tetaplah paradigma kritik.
Walhasil, apakah PKT benar-benar habis sudah atau rontok seluruh daging dan tulang-tulangnya? Ataukan ada sebagian asumsi PKT yang masih relevan dan sebagian lainnya perlu direvisi? Lalu apa nama yang tepat untuk paradigma ini? Apa relevansi dan koherensi upaya revisi tersebut dengan doktrin al-muhafadzatu ‘alal-qodimis-sholih wal-akhdzu bil-jadidil-ashlah? Banyak pertanyaan yang bisa kita ajukan untuk memerkokoh sistem nilai dan ideologi kita.

Masalah Keenam: Strategi dan taktik sebagai prasyarat gerak
Nampaknya harus diakui bahwa di kalangan kader pergerakan, ideologi, strategi dan taktik gerakan PMII belum dipahami betul. Sehingga seringkali terjadi perdebatan dan diskusi tanpa ujung dengan membawa akibat-akibat kesalahpahaman atau konflik berlarut-larut yang memecah belah diri sendiri. Masalah kita adalah apa sebenarnya strategi dan bagaimana taktik gerakan PMII? Apakah kita memiliki kedua-duanya, atau jangan-jangan kita hanya berjalan natural saja? Kaburnya pembedaan yang jernih antara aspek ideologi, strategi dan taktik ini seringkali membawa kesalahpahaman berikutnya. Misalnya kita perlu menjernihkan masalah yang dipertanyakan kader-kader kita, yakni: apakah “Menggiring Arus” dalam PMA (Paradigma Menggiring Arus) sebenarnya adalah suatu strategi, dan taktiknya adalah anti/non-sistemik yang ujudnya bisa kolaborasi, adaptasi, negosiasi dan ataukah perlawanan frontal?
Sebagaimana disinggung diatas taktik adalah penjabaran operasional jangka pendek agar strategi dapat diterapkan. Maka suatu taktik tertentu kita pilih, kita ambil dan kita jalankan atas dasar pertimbangan situasi aktual dan kenyataan riil di lapangan. Dan oleh karena itu sudah sewajarnya bila suatu taktik tertentu selalu harus berbasis realitas, kenyataan riil! Lalu kita pun bisa bertanya: apakah yang kita sebut “Berbasis Realitas/Kenyataan” dalam PBA (Paradigma Berbasis Realitas) sebenarnya adalah bahasa yang digunakan dengan pengertian yang sama dengan taktik yang dipahami disini? Tentu hal ini bukan semata masalah linguistik, bukan?!

Masalah Ketujuh: Membangun Akumulasi Kesadaran dan Pengetahuan Bersama
Kesenjangan pengetahuan dan keterbatasan wawasan membuat diskusi untuk membicarakan masalah-masalah substansial seolah bertele-tele dan dianggap buang-buang waktu atau terlalu teoritis. Seringkali anggapan ini diperburuk oleh egoisme sektoral, perbedaan otoritas, senioritas dan gengsi diri yang terlalu berlebihan. Pada akhirnya faktor-faktor ini telah menghalangi kesediaan untuk bekerjasama, saling mendengarkan, saling menghormati dan menghargai. Oleh karena itu tidak mengherankan bila kesepakatan-kesepakatan atau keputusan-keputusan penting yang bersifat substansial tidak mudah dicapai atau diambil tanpa masukan-masukan serta pertimbangan kritis, konstruktif dan solutif.
Padahal sesungguhnya tradisi semacam inilah yang memungkinkan proses-proses akumulasi pengetahuan bersama dan memupuk kesadaran kolektif. Di dalamnya mencakup sharing ide dan pemikiran, praktek berbagi pengalaman, kegelisahan dan keprihatinan, serta berbagi ketahuan dan ketidaktahuan. Tradisi ini hanya bisa dicapai jika satu sama lain di dalam “lingkaran kader-kader penting” organisasi ini memiliki kesabaran untuk mendengarkan, saling menghargai dan tepo seliro, saling memperkaya dan mengakui kekurangan, serta saling mencari titik temu atas berbagai pendapat yang berbeda. Bagaimanapun setiap perbedaan pendapat dalam diskusi pada akhirnya harus tunduk pada kesepakatan bersama yang dicapai secara maksimal dan didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan bertanggung jawab terhadap visi, amanat dan strategi kolektif pergerakan.

Masalah Kedelapan: Etika Komunitas Pergerakan
Terkait dengan poin di atas, kita jelas merasakan kurang tumbuhnya etika pergerakan yang positif, konstruktif dan bersifat metodis. Yang dimaksudkan adalah etika komunitas pergerakan dalam praktek hidup sehari-hari yang merupakan pengejawantahan dari etika keaswajaan yang bersifat menyeluruh, koheren dan sistematik.  Ini tidak hanya terbatas pada sikap normative seperti tawasuth, tawazun, dan i’tidal, tetapi juga mencakup habituasi nilai-nilai kesederhanaan, kejujuran, keberanian, kepercayaan diri, saling kerjasama, kooperasi, gotong royong, kesantunan publik, saling percaya, saling menghormati, relasi junior-senior yang konstruktif, semangat kreativitas dan entreprenership, optimistik, teguh pada prinsip, dan lain-lainnya yang perlu dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari warga pergerakan.
Etika semacam ini bukan hanya bersifat konstruktif bagi terbangun kohesi sosial dan pemupukan modal sosial yang kuat. Tetapi juga menjadi spirit yang bisa dipraktekkan secara metodis dalam hubungannya dengan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) kaderisasi guna memperkuat daya resilency, kedisiplinan, dan membentuk tradisi counter-culture (oposisi-budaya) terhadap anarkisme politik dan kebudayaan yang kita hadapi.

IV. Strategi-Taktik Gerakan
Posisi paradigma dalam gerakan PMII sangatlah vital. Ini lantaran paradigma memberikan keyakinan metodologis bagi setiap kader PMII dalam memahami dan memaknai setiap peristiwa, atau kenyataan sosial. Pada puncaknya dari hasil pemaknaan bersama itu lalu bisa dirumuskan model sebuah gerakan kolektif, strategi, dan taktik perjuangan. Gerak tanpa paradigma bukanlah sebuah gerakan dalam arti sebenarnya, melainkan sebuah kerumunan, gerak acak tak beraturan.
Setiap pergerakan haruslah memiliki strategi perjuangan untuk mencapai tujuan organisasi. Selain strategi juga diperlukan taktik. Strategi biasanya berkaitan dengan “apa” yang seharusnya kita lakukan, yakni mengerjakan sesuatu yang benar (doing the right things). Sementara taktik berkaitan dengan “bagaimana” untuk mengerjakan sesuatu itu, yakni mengerjakan sesuatu dengan benar (doing the things right). Dalam organisasi militer, strategi dianalogikan sebagai seni menggunakan pertempuran untuk memenangkan suatu perang, sedangkan taktik adalah seni menggunakan tentara dalam sebuah pertempuran.
Adapun taktik merupakan penjabaran operasional jangka pendek dari strategi agar strategi tersebut dapat diterapkan. Strategi sendiri merupakan alat/program-program indikatif untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Ia bersifat menyatu (unified) yakni menyatukan seluruh bagian-bagian dalam organisasi; menyeluruh (comprehensive) dalam arti mencakup seluruh aspek dalam organisasi; dan integral (integrated) yakni seluruh strategi akan cocok/sesuai untuk seluruh tingkatan (organisasi, kegiatan dan fungsinya). Biasanya strategi dibuka untuk publik, sementara taktik cenderung dirahasiakan.
Penggunaan paradigma PKT, sementara dalam proses revitalisasinya, tidak hanya sekedar menekankan kekuatan kritik pada wilayah nalar tetapi juga transformasi melalui gerakan. Nalar dan gerakan PMII tidak seharusnya hanya melihat negara semata-mata sebagai arena bagi para setan berkuasa tetapi juga dapat menjadi malaikat kebaikan bagi warganya. Negara merupakan arena kontestasi warga negara yang memiliki afiliasi nilai atau ideologi untuk berkuasa. Sesat pikir bahwa PMII selamanya vis a vis dengan negara hanya membuat PMII menjadi phobia dengan kekuasaan dan output-nya hanya berada di LSM atau Ormas.
Strategi gerakan PMII bertumpu pada kekuatan untuk mengantisipasi perubahan di masa mendatang di tiga front sekaligus: global front, local front, dan internal-movement front. Berdasarkan berbagai bacaan dan input maka terdapat dua strategi gerakan PMII: menjadi avant-garde gerakan dan penguasaan the leading sectors.

A.    Menjadi Avant-garde Gerakan
Mungkin, sudah tidak ada yang menyangsikan bahwa PMII merupakan gerakan extra- universiter yang kerap terlibat dalam memperjuangkan perubahan di tingkat nasional dan daerah. Lewat doktrin liberation theology berupa keberpihakan terhadap kaum mustadh’afin serta paradigma kritis transformatif kader-kader PMII begitu terampil memainkan perannya sebagai aktor gerakan sosial. Radikalisasi nilai di dalam PMII ditujukan untuk membangun resistensi atas ketidakadilan.
Supaya gerakan tidak sekedar menjadi “asal gerak” maka PMII menggunakan multi-level strategy sebagai strategi gerakan PMII.
Multi-level strategi merupakan langkah mengatasi kuatnya penetrasi struktur global atas penetrasi struktur lokal.[2] Dalam bacaan PMII, perubahan tidak hanya ditentukan dari struktur lokal  tetapi juga di pengaruhi oleh struktur global. Oleh karena itu, gerakan PMII berupaya melakukan perebutan (warring position) di tiga front: global front, local front, dan internal-movement front. Perebutan tiga front tadi memerlukan central planner untuk mengatur ritme di multi centers.
Secara praktis, gerakan di tiga front memerlukan kelenturan atau fleksibilitas. Misalnya, struktur global diperlukan untuk menghapus local struktur constraint yang membahayakan gerakan atau merugikan masyarakat di tataran lokal. Sementara struktur lokal diperlukan untuk menghambat gerak maju struktur global tersebut. Dalam tesis Andre Gunder Frank dan Marta Fuentes kita bisa menghambat penetrasi struktur global dengan melepas kopling (delinking) melalui tiga mekanisme: pasar, hukum, dan parlemen. Penggunaan mekanisme pasar adalah dengan upaya memboikot produk atau upaya secara luas melaui kampanye berupa iklan atau tekanan opini di surat kabar. Adapun melalui mekanisme hukum adalah dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Sedangkan mekanisme parlemen digunakan untuk memberikan tekanan melalui pemotongan anggaran, kritik terhadap kebijakan pemerintah, dan pembuatan regulasi.
Skema gerakan di tiga front ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Local Front

Ø  Pasar
Ø  Hukum
Ø  Parlemen
Local Structure
Internal-movement Front
Global Structure
Transnational Corporation
Global Front

Ø  Pasar
Ø  Hukum
Ø  Parlemen
Geopolitik Lokal
Geopolitik Global













Contoh penggunaan skema di atas dengan menggunakan isu kerusakan hutan yang melibatkan perusahaan transnasional adalah sebagai berikut. PMII bersama dengan kelompok masyarakat tercerahkan lainnya melakukan advokasi secara langsung dengan melobi parlemen untuk menghentikan laju kerusakan hutan. Hasil lobinya bisa berupa regulasi yang memaksa penghentian eksploitasi hutan. Cara berikutnya adalah dengan melakukan judicial review atas regulasi yang merugikan melalui Mahkamah Konstitusi atau membawa bukti-bukti kerusakan lingkungan ke meja pengadilan agar terjadi penghentian dan terjadi ganti rugi. Jika kedua cara ini tidak mempan maka melakukan kampanye boikot produk dari perusahaan tersebut yang dipasarkan di Indonesia. Ketiga cara ini bisa dilakukan di tingkat nasional maupun daerah melalui tiap tahap atau ketiga tahap sekaligus. Apabila ketiga mekanisme tersebut kandas di tingkat lokal maka PMII harus melakukan pertempuran di global front misalnya dengan membangun jejaring kelompok gerakan sosial lainnya untuk melakukan hal serupa di negara di mana perusahaan transnasional tersebut berpusat. Kelompok gerakan sosial yang menjadi rekan seperjuangan PMII dapat melakukan kampanye boikot produk hasil hutan Indonesia, meminta anggota parlemen untuk menekan pemerintah dan pemilik perusahaan, dan melakukan upaya hukum sesuai dengan aturan yang berlaku di negaranya. Pelibatan organisasi gerakan sosial global lainnya di global front sangat dimungkinkan untuk menghadapi ganjalan dari domestic comprador classes. Mekanisme inilah yang disebut delinking.
Di luar contoh di atas masih terdapat banyak lagi contoh lainnya, misalnya terkait advokasi Blok Migas yang akan habis masa kontraknya dan advokasi terhadap UU yang diinisiasi atau disponsori oleh lembaga-lembaga asing sebagaimana tabel di bawah ini:

Tabel Blok Migas yang Habis Masa Kontrak 2013-2021
No
Tahun
Nama Blok
Kontraktor
Lokasi
1
2013
Blok Siak
PT Chevron Pacific
Riau
2
2015
Blok Gebang
JOB Pertamina – Costa
Sumatera Selatan
3
2017
Blok Offshore Mahakam
Total E & P Indonesia
Kalimantan Timur
4
2017
Blok ONWJ
PT Pertamina HE
Laut Jawa
5
2017
Blok Attaka
Inpex Corp
Kalimantan Timur
6
2017
Blok Lematang
PT Medco E & P Indonesia
Sumatera Selatan
7
2018
Blok Tuban
JOB Pertamina – Petrochina
Jawa Timur
8
2018
Blok Ogan Komering Ilir
JOB Pertamina – Talisman
Sumatera Selatan
9
2018
Blok NSO B
Exxon Mobil
Sumatera Utara
10
2018
Southeast Sumatera
CNOOC
Sumatera Selatan
11
2018
Blok Tengah
Total EP
Kalimantan Timur
12
2018
NSO-NSO Extent
Exxon Mobil
Sumatera Utara
13
2018
Blok Sanga-sanga
Vico
Kalimantan Timur
14
2018
Blok W Pasir dan Attaka
Chevron Indonesia Company
Kalimantan Timur
15
2019
Blok Bula
Kalrez Petroleum
Maluku
16
2019
Seram-Non Bula Block
Citic
Pulau Seram
17
2019
Blok Pendapa dan Raja
JOB Pertamina – Golden Spike
Sumatera Selatan
18
2019
Blok Jambi Merang
JOB Pertamina – HESS
Sumatera Selatan
19
2020
Blok South Jambi B
Conoco Philips
Jambi
20
2020
Blok Selat Malaka
Kondur Petroleum
Riau
21
2020
Blok Brantas
Lapindo
Jawa Timur
22
2020
Blok Salawati
JOB Pertamina – Petrochina
Papua
23
2020
Blok Kepala Burung A
Petrochina International Bermuda
Papua
24
2020
Blok Sengkang
Energy Equity
Sulawesi Selatan
25
2020
Blok Makassar Strait
Chevron Indonesia Company
Sulawesi Selatan
26
2021
Blok Bentu
Sagat Kalila
Riau
27
2021
Blok Rokan
Chevron Pacivic Indonesia
Riau
28
2021
Blok Muriah
Petronas
Jawa Tengah
29
2021
Blok Selat Panjang
Petroselat
Riau

Tabel Contoh Beberapa Undang-undang yang Diinisiasi atau Disponsori oleh Lembaga-Lembaga
Asing
No
Undang-undang
Keterangan
1
UU No. 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
2
UU No. 14 Tahun 2001
Tentang Paten
3
UU No. 15 Tahun 2001
Tentang Merek
4
UU No. 16 Tahun 2001
Tentang Yayasan
5
UU No. 22 Tahun 2001
Tentang Minyak dan Gas Bumi
6
UU No. 15 Tahun 2002
Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
7
UU No. 19 Tahun 2003
Tentang Hak Cipta
8
UU No. 18 Tahun 2003
Tentang Hak Advokat
9
UU No. 25 Tahun 2003
Tentang Perubahan atas RUU Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
10
UU No. 36 Tahun 1999
Tentang Telekomunikasi
11
UU No. 25 Tahun 1999
Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
12
UU No. 23 Tahun 1999
Tentang Bank Indonesia
13
UU No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen
14
UU No. 16 Tahun 2000
Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.6
Th.1993 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
15
UU No. 17 Tahun 2000
Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No.7 Th.1983 Tentang Pajak Penghasilan
16
UU No. 24 Tahun 2000
Tentang Perjanjian Internasional
17
UU No. 25 Tahun 2000
Tentang Program PembangunanNasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004
18
UU No. 14 Tahun 2002
Tentang Pengadilan Pajak
19
UU No. 20 Tahun 2002
Tentang Ketenagalistrikan
20
UU No. 32 Tahun 2002
Tentang Penyiaran
21
UU No. 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara
22
UU No. 27 Tahun 2003
Tentang Panas Bumi
23
UU No. 3 Tahun 2004
Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
24
UU No. 7 Tahun 2004
Tentang Sumber Daya Air
25
UU No. 19 Tahun 2004
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang
Penggunaan skema di atas, baik di global front dan local front, harus sangat hati-hati karena perlu kedalaman analisis sehingga dapat menentukan siapa pihak yang bisa dijadikan sebagai potential allies (sekutu potensial), contender (lawan), dan challenger (penantang). Sangat mungkin posisinya bisa saling bergeser dalam menghadapi isu-isu tertentu.
Perebutan atau pertarungan di global front dan local front sangat dipengaruhi oleh internal-movement front karena front inilah yang menyediakan mekanisme kaderisasi dan kontinuitas gerakan. Internal-movement front harus memastikan semua gerakan terencana dan terukur dengan menjadikan bacaan geopolitik lokal, geopolitik global, dan sejarah sebagai pijakan. Dengan demikian, pilihan pada isu harus dilakukan dengan tingkat kecermatan yang tinggi dengan tetap memprioritaskan common will (UUD 45 dan Pancasila) dan national interest (cita-cita kemerdekaan). Mengadopsi semua langkah di atas akan menjadi PMII sebagai avant-garde gerakan mahasiswa di Indonesia.
Semua perencanaan gerakan dan proses kaderisasi harus totally secured.

B.     Penguasaan The Leading Sectors
Sejauh ini, proses pelembagaan sistem demokrasi di Indonesia terus berlangsung dan dianggap oleh sebagian kelangan berada on the track menuju fase konsolidasi demokrasi atau sedang menuju kekhasan demokrasi ala Indonesia. Dari luar, proses transform the system dilakukan dan dikawal oleh berbagai elemen masyarakat sipil, pers, dan juga organisasi gerakan mahasiswa. Dari dalam, pilar-pilar demokrasi terus mengalami koreksi mendasar dan meskipun lambat terus mengalami perbaikan.
Dalam situasi demikian, political opportunity untuk berada di dalam pusaran kekuasaan menjadi sangat terbuka bagi siapapun dengan latar belakang apapun. Kekuasaan menjadi sulit dimonopoli oleh salah satu unsur, seperti: militer, intelektual-aktivis, teknokrat, pengusaha atau industriawan, kalangan profesional, dan lain-lain sebagaimana yang pernah terjadi di masa lalu.
Terdapat berbagai tantangan dan pelajaran dalam relasi kenegaraan dan kebangsaan yang berpotensi menghambat atau memperkaya proses pematangan demokrasi yang berpijak terhadap kebaikan bersama, yakni: fundamentalisme agama yang berwujud pada terorisme dan tindakan intoleran, benturan identitas, tindakan separatis, konflik masyarakat dan korporasi di daerah pertambangan dan kawasan industrial, konflik agraria, kemiskinan,  korupsi, dan liberalisasi pasar secara berlebihan. Adapun tantangan dari luar yang dampaknya berpengaruh adalah resesi ekonomi global, perang memperebutkan sumber daya alam dan batas-batas teritorial, dan kegagalan sistem demokrasi politik dan liberalisasi pasar.
Bagi PMII, perubahan politik, ekonomi, dan sosial harus bisa direspon dengan menyiapkan resources yang bisa ditempatkan di berbagai sektor terutama yang berkategori sebagai the leading sectors (pemerintahan, industri, dan akademik) dalam perspektif sosiologi inovasi agar internalisasi nilai dapat terjadi. Internalisasi nilai perlu dilakukan mengingat PMII sebagai organisasi kader yang memiliki karakteristik nilai ke-Islam-an ahlussunah wal jama’ah dan ke-Indonesia-an yang bertujuan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang tercantum di dalam tujuan organisasinya. Tentu saja hal tersebut akan sulit diwujudkan jika ruang yang banyak dimasuki oleh kader-kader PMII cenderung monolitik akibat resources yang homogen
Medan Gerak
Siapa Kita
Siapa Musuh
Negara: produksi regulasi dan kebijakan
Industri: Produksi ekonomi
Akademik: Produksi , reproduksi, transformasi pengetahuan & teknologi
Research & development
Teknologi sesuai kebutuhan, akses rakyat atas  sumberdaya alam
Proteksi sosial dan keberpiha-kan regulasi untuk rakyat

BERDIKARI
Semangat dan kreativitas internal saat berinteraksi dengan kepentingan  neo-liberal. Mengkritisi sambil menawarkan solusi dalam dunia baru.

Politik
Ekonomi
Pengetahuan  & Budaya
Kapasitas yg dibutuhkan:
*Kompetensi
*Kepemimpinan
*Landasan ideologi paradigmatik
Unit analisis:
Negara dan sistem dunia
Penguasaan leading sectors mengandaikan bahwa perubahan dapat dilakukan dari dalam (endogenous). Perubahan bukan hanya berasal dari luar exogenous melalui intervensi, rekayasa, atau tekanan dari kelompok penekan (pressure group) lokal maupun global, TNC, atau negara lain. Tekanan yang dilakukan oleh PMII dalam berbagai bentuk protes sosial (social protest) pada gilirannya hanya akan sangat efektif jika aktor di dalam kekuasaan memiliki agenda yang sama, visi, misi, dan nilai-nilai yang ada di PMII. Proses ini mengandaikan bahwa internalisasi nilai-nilai PMII dilakukan oleh agen atau aktor, dalam hal ini kader-kader PMII, ke seluruh sektor strategis.
Ketiga sektor yang harus dikuasai oleh kader-kader PMII post-struktur yakni: negara, industri, dan akademik.  Ketiganya hanya dapat dikuasai jika proses kaderisasi sebagai kawah candradimuka kader PMII dapat terjadi dengan baik. Proses kaderisasi bukan lagi hanya dimaknasi sebagai proses internalisasi values melainkan juga peningkatan kapasitas atas kompetensi yang dibutuhkan di masa mendatang dan penempaan kualitas leadership.
Hingga saat ini akselerasi kader-kader PMII di sektor-sektor strategis, lebih dari 50 tahun kelahirannya, belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal ini tercermin dari sebaran alumninya.

Sektor Strategis                                   Kelemahan                                            Kekuatan
Pemerintah karir                                  Kementerian strategis                         Kementerian non-strategis
Pemerintah non-karir                         Partai besar                                           Partai kecil
Industri                                                  Menengah-besar                                 kecil
Akademik                                              Kampus agama                                      Kampus Umum
Tabel Kelemahan dan Kekuatan di Sektor Strategis




Sektor Lain                           
LSM/NGO                                              Pertambangan, pertanian                   Keagamaan, HAM
Perikanan, perkotaan                          perempuan, demokrasi
Profesi                                                   scientist, advokat, dokter                   pekerja kerah biru,
pendidik
Lembaga negara non-departemen   ekonomi, hokum, keuangan               sosial, politik                        
 







Tabel di atas menjelaskan bahwa penguasaan kader PMII di ranah sektor strategis sangat kecil. Pemerintah karir yang dimaksud di sini adalah ranah birokrasi yang mencapai level eselon I. Sangat sulit menenemukan kader PMII yang mencapai eselon I kecuali di Kemenag. Baru muncul belakangan ada juga di Kemenkumham serta Kemendikbud dengan jumlah yang sangat kecil. Sementara di kementerian lain yang dianggap strategis atau berimplikasi terhadap hajat hidup orang banyak seperti di kementerian keuangan, perdagangan, perindustrian, pertanian, dan ESDM, tidak terdapat satu pun kader PMII yang mencapai posisi eselon I. Bahkan, memang nyaris tidak ada sama sekali yang berkarir di dalamnya. Di ranah pemerintahan non-karir adalah kekuasaan di pemerintahan yang didapat dari mekanisme pemilu. Partai politik yang dimasuki oleh banyak kader PMII umumnya hanya menempati posisi menengah-bawah dalam tiap kali penyelenggaraan pemilu legislatif digelar. Posisi menengah-bawah membuatnya menjadi sulit dalam melakukan fungsi controling, legislasi, dan  budgeting. Khusus penguasaan ranah eksekutif implikasinya adalah sukarnya mendudukkan kader-kader PMII dalam pemilukada bahkan atau pilpres.
Di sektor industri pun demikian. Nyaris tidak ada kader-kader PMII yang menjadi pemain besar padahal konsumen terbesar di Indonesia adalah nahdliyin. Umumnya mereka baru berada di sektor usaha menengah-bawah. Padahal, potensi Indonesia sebagai kekuatan ekonomi dunia sangat besar di masa mendatang.[3]
Adapun di sektor akademik terlihat dari minimnya jumlah alumni yang menjadi rektor perguruan tinggi negeri (PTN). Dari 80-an PTN hanya dua orang yang berasal dari alumni PMII. Kebanyakan alumni PMII menjadi akademisi di kampus agama negeri maupun swasta. Inipun masih belum maksimal mengingat kampus agama negeri banyak dikuasai oleh bukan kader PMII.
Oleh karena inti strategi ini terletak pada upaya menyiapkan kader PMII untuk dapat memiliki kapasitas spesialis dari berbagai disiplin akademik guna berkompetisi di semua sektor strategis maka upaya yang harus dilakukan adalah dengan memperbaiki kualitas kader yang berasal dari berbagai disiplin akademik.
Untuk menjalankan kedua strategi di atas maka taktik gerakan dan kaderisasi PMII adalah melakukan penguatan kaderisasi kampus umum, penguasaan organisasi intra-universitas, dan membangun global-network.

Penguatan kampus umum
Sejak lama PMII berupaya untuk membangun kekuatan di kampus umum. Berbagai rekayasa dilakukan meskipun sejauh ini masih menghadapi tantangan yang kuat. Perekayasaan ini secara kasat mata terlihat dari background 15 Ketua Umum PB PMII di mana sembilan di antaranya berasal dari kampus umum, antara lain: Mahbub Djunaidi (UI), Ahmad Bagja (IKIP Jakarta/UNJ), Muhyidin Arubusman (Unija), M. Aqbal Assegaf (IPB), Ali Masykur Musa (Unej), Muhaimin Iskandar (UGM), Nusron Wahid (UI), A. Malik Haramain (Unmer), dan M. Rodli Kaelani (Unsrat). Selain upaya untuk memotivasi dan memperkuat kaderisasi PMII di kampus umum, perekayasaan tersebut bertujuan untuk mengakselerasi kader PMII di level kepemimpinan nasional karena dianggap memiliki modal sosial lebih.
Di tingkat lokal, perekayasaan ini belum bisa berjalan secara sempurna. Terdapat beberapa kendala di antaranya: 1) kampus umum belum dilihat sebagai arena rekrutmen yang perlu mendapat prioritas dari pengurus cabang; 2) kesulitan mempertahankan kader yang terekrut karena gagal mengadaptasi model kaderisasi yang tepat; 3) pendekatan melalui materi-materi kaderisasi formal PMII diasumsikan sarat dengan pendalaman pengetahuan keislaman bagi mereka yang sudah terkategori di atas pemula, dan; 4) dalam kontestasi perebutan struktur di lingkup cabang kerap kali terkalahkan karena posisinya minoritas. Akibatnya, terjadi kefrustasian berupa hilangnya motivasi berorganisasi karena akses masuk ke dalam struktur menjadi macet.
Penguatan kampus umum harus dilihat sebagai sarana mereproduksi kader yang memiliki berbagai macam disiplin pengetahuan akademik. Untuk dapat mendudukkan kader di leading sectors maka mau tidak mau penguatan kampus umum menjadi prasyarat mutlak. Penguatan kampus umum bukan berarti menafikkan resources kader PMII yang berasal dari kampus agama tetapi harus dilihat semata-mata sebagai upaya memperkaya resources mengingat banyak kampus agama kini juga memiliki fakultas dan jurusan umum seperti di berbagai Universitas Islam Negeri. Keduanya harus sinergis.
Pemerintah karir/non-karir


      RESOURCES
            PMII
 


Akademik                                           Industri
Sebelum melakukan penguatan kaderisasi di kampus umum ada baiknya melihat perbedaan karakteristik mahasiswa antara kampus agama dan umum sebagaimana yang terlihat di dalam gambar di bawah ini.
Kampus Agama                      Kampus Umum
Kohesi sosial                           solidaritas tinggi                     solidaritas rendah-menengah
Strata sosial                            menengah-bawah                  menengah-atas
Latar pendidikan                     MA/SMU Islam                       SMU/SMK
Lingkungan sosial                   rural                                        urban
Orientasi pengetahuan           non-eksakta                            non-eksakta dan eksakta

Tipologi mahasiswa






Berdasarkan tipologi mahasiswa di atas maka berikutnya kita dapat melakukan upaya rekrutmen dengan skema segmentasi-targeting-positioning.
Segmentation
Positioning
Targeting
Taktik Rekrutmen
 








Segmentasi merupakan arena pembagian mahasiswa di dalam kampus yang heterogen ke dalam satuan-satuan yang bersifat homogen dilihat dari aspek geografis, demografis, dan psikografi. Setelah segmentasi membagi mahasiswa ke dalam identifikasi tertentu maka langkah berikutnya adalah melakukan targeting. Targeting merupakan merupakan usaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam sebuah proses kampanye pengenalan PMII berdasarkan masing-masing segmen. Untuk melakukan upaya ini perlu memperhatikan empat langkah sebagai berikut: 1) memperhitungkan segala sumber daya yang dimiliki dan dibutuhkan; 2) menganalisa kekuatan sumber daya kompetitor lain, dalam hal ini berupa organisasi eksta-universitas lainnya; 3) melakukan komparasi kekuatan dengan organisasi ekstra-universitas lainnya; 4) mengambil keputusan bentuk dan media pengenalan yang akan digunakan untuk membangun pencitraan atau  image.  
Hasilnya adalah positioning yang membedakan PMII dengan kompetitor lainnya. Positioning merupakan suatu proses menempatkan PMII ke dalam pikiran mahasiswa sesuai dengan keinginan pengurus PMII. Untuk bisa menentukan positioning maka perlu menentukan karakteristik berupa added value yang dimiliki oleh PMII.








Skema di atas jika diturunkan sebagai berikut:
Segmentasi             Targeting                                                Positioning
Geografi                  Perkotaan                Hobi , performance                                berbakat di luar bidang akademik
peduli life style                       Rapih, fashionable, tidak urakan
                                Pedesaan                                Ketekunan belajar                   Cerdas
Intens dalam berkawan          Solidaritas tinggi, kolektivitas
Demografi               Etnik                        Asal daerah                             Menghargai ikatan komunal dan
                                                                                                                budaya
                                Agama                    NU, non-afiliasi                      Islam moderat, menghargai pluralitas
                                                                                                                Ritus keagamaan: tahlil, ziarah, dll.
Psikografi                                Strata sosial            Menengah                               Kritis, agen perubahan
Karakter                  Berorientasi prestasi              Prestasi akademik, prestasi kompetisi
di dalam dan luar kampus
 











Berdasarkan kolom di atas maka brand awareness dalam positioning PMII di kampus umum adalah: berbakat di luar bidang akademik, rapih atau fashionable, cerdas, solidaritas tinggi atau punya semangat  kolektivitas, menghargai ikatan komunal berdasarkan asal daerah atau etnik, berhaluan Islam-moderat dan menghargai pluralitas, menjalankan ritus keagamaan tertentu seperti tahlil atau ziarah, kritis, serta memiliki prestasi akademik di dalam dan luar kampus. Saat ini positioning PMII baru terbatas pada pemahaman Islam-moderat dan kekhasan dalam berbagai ritus ibadahnya.
Untuk mencapai positioning maka dalam targeting perlu mendapatkan medium yang tepat berdasarkan pemetaan segmentasi yang sudah didapatkan.

Targeting                                Media                                                      Hobi, performance                 UKM, klub hobby                                     Ketekunan belajar                   Kelompok studi, perpustakaan
Asal daerah                             organisasi kedaerahan,
asrama mahasiswa, tempat kost
NU, non afiliasi                       masjid kampus
Menengah                               kelompok studi, kantin kampus
Berorientasi prestasi              kelompok studi, UKM,

 








Penggunaan besaran targeting ditentukan oleh kapasitas resources yang dimiliki. Peningkatan jumlah targeting bisa dilakukan seiring dengan terjadinya proses penambahan resources. Cara yang paling sederhana jika kekuatan sangat minimal yakni: 1) mencari alumni pesantren atau orang tua yang memiliki afiliasi keagamaan dengan NU. Cara ini bisa dilakukan melalui pendekatan kultural lewat jaringan alumni pesantren dan penilaian terhadap ritus keagamaan di masjid kampus. Khusus untuk mahasiswi bisa diidentifikasi dari jilbab yang dikenakannya; 2) jaringan pertemanan dalam satu sekolah umum;  3) mendorong produktivitas karya akademik kader-kader PMII yang sudah ada sehingga terlihat seperti achievement. Dorongan achievement ini diperlukan mengingat kebanyakan mahasiswa kampus umum berorientasi pada hasil. Kader PMII yang berprestasi akan menjadi magnet bagi teman seangkatan maupun junior-juniornya yang belum terekrut. Hal ini perlu dilakukan untuk mematahkan stigma bahwa aktif berorganisasi secara otomatis akan menghambat prestasi akademik.
Di luar tahapan-tahapan di atas, ada baiknya melakukan upaya pra-rekrutmen. Pra-rekrutmen adalah proses pengenalan PMII di SMU atau MA favorit yang dapat dilakukan oleh pengurus cabang. Sekolah favorit biasanya menjadi pemasok mahasiswa di perguruan tinggi umum negeri. Terdapat dua cara yang dapat dilakukan. Pertama, dengan mengadakan program bimbingan belajar lulus UAN dan atau SPMB. Kedua, melibatkan perwakilan OSIS dalam kegiatan-kegiatan yang di selenggarakan oleh PMII misalnya dalam kegiatan diskusi publik. Biasanya, Mereka yang tergabung di dalam OSIS adalah siswa-siswi berprestasi dan mempunyai gairah berorganisasi yang tinggi. 
            Setelah melakukan berbagai langkah di atas maka fase yang tidak kalah pelik adalah  mempertahankan positioning. Mereka yang telah terekrut harus mendapat pembinaan yang terencana dan terukur sehingga positioning yang diharapkan dapat terbentuk dan bertahan. Program kegiatan hendaknya hanyak diprioritaskan pada dua hal besar: internalisasi nilai dan dorongan meraih prestasi.
Adapun taktik pengembangannya adalah dengan mendorong berdiasporanya kader-kader PMII di berbagai klub studi/hobby, UKM, dan BEM sebagai sarana melakukan rekrutmen, mengakumulai pengetahuan akademik, menambah jejaring profesional dan alumni almamater, serta mewarnai (menginternalisasi) institusi dengan values PMII.

Penguasaan organisasi intra-universitas
Di hampir seluruh kampus, organisasi intra-universitas merupakan arena kontestasi mahasiswa yang tergabung dalam organisasi gerakan baik dalam sekup lokal kampus maupun ekstra-universitas. Di luar kedua kelompok tadi biasanya terdapat berbagai kelompok berbasis hobby, etnik, maupun atas dasar disiplin akademik di jurusan atau fakultas.
Organisasi intra-universitas perlu dikuasai karena memiliki tiga aspek yang dapat membantu pengembangan PMII. Pertama, dari aspek finansial, organisasi ini mendapatkan biaya dari pihak kampus dalam menjalankan kegiatan-kegiatannya secara periodik. Kedua, dari aspek infrastruktur, organisasi ini memiliki sekretariat beserta perlengkapan kantor di dalam kampus. Ketiga, dari aspek legalitas, umumnya organisasi ini yang hanya boleh menjalankan berbagai kegiatan mahasiswa non-akademik di dalam kampus.
Penguasaan organisasi intra-universitas sangat bergantung dengan kekuatan PMII atau, dalam kasus tertentu, kekuatan personal kader PMII. Mengkalkulasi kekuatan menjadi penting untuk dapat menentukan organisasi intra-universitas yang diproyeksikan untuk direbut yang dalam wujudnya berbentuk UKM, Himaju, BEM Fakultas, BEM Universitas, dan DPM. Bila berhasil dikuasai maka pendanaan kegiatan PMII dapat disubsidi dari anggaran kampus melalui sisa anggaran kegiatan formal. Dari aspek infrastruktur dapat memanfaatkan fasilitas yang dimiliki oleh kampus, misalnya menjadikan sekretariat sebagai sarana untuk rapat dan berdiskusi kegiatan-kegiatan PMII. Adapun dari aspek legalitas, kegiatan-kegiatan yang dijalankan menjadi sarana sosialisasi kader-kader PMII. Dalam kegiatan-kegiatan formal tersebut dapat melihat dan menilai mahasiswa potensial yang sangat perlu untuk direkrut oleh PMII.
Taktik penguasaan organisasi intra-universitas sesungguhnya dapat dijadikan ukuran sejauh mana tingkat penerimaan kualitas kepemimpinan dan ketrampilan berorganisasi kader-kader PMII bagi mahasiswa lainnya. Proses penempaan kepemimpinan akan menjadi berbeda mengingat tantangannya juga berbeda. Selain meningkatkan skill kepemimpinan dorongan untuk berada di organisasi intra-universitas bertujuan meningkatkan kompetensi berdasarkan potensi dan minat akademik
  
Membangun Global-network
Sebagai bagian pertarungan PMII di dalam global front maka langkah yang harus dilakukan adalah membangun global-network dengan organisasi gerakan sosial lainnya. Global-network akan sangat berfungsi manakala PMII menggunakan instrumen kekuatan global untuk turut memberikan tekanan dalam melakukan advokasi pada perebutan local front.
Pada level pengembangan institusi, global-network dapat membantu untuk mengakselerasi pengetahuan dan jaringan. Global-network, selain organisasi gerakan sosial transnasional, yang di maksud dalam hal ini adalah negara. Sebagai organisasi kemahasiswaan, PMII dapat membuka  (opportunity) berjejaring dengan berbagai aktor dalam negara. Modal sosial yang dimiliki adalah oleh PMII untuk berjejaring dengan negara adalah pengalaman dan kemampuannya dalam mengkampanyekan Islam moderat. Hal ini bisa menjadi alat tawar dalam membangun relasi internasional dengan negara-negara yang tergabung di dalam BRICS. Negara-negara BRICS memiliki potensi menjadi kekuatan baru di dunia dalam hal ekonomi, politik, teknologi, dan pertahanan.
Saat ini yang banyak terjadi di negara-negara tersebut adalah potensi distabilitas akibat separatisme atau konflik horizontal berbasis sentimen keagamaan. Di Cina, India, dan Rusia keberadaan umat Islam menduduki persentase yang cukup tinggi. Dan pastinya, negara-negara tersebut tidak ingin mengalami kendala ketika berambisi menjadi kekuatan baru.
Kelebihan PMII dalam mempromosikan dan mempraktekkan Islam moderat tentu dapat menjadi “penggedor” dalam membangun relasi. Islam yang dikampanyekan bukan merupakan Islam berwatak konfrontatif yang memaksakan ajaran Islam diadopsi dalam sistem kenegaraan melainkan pemahaman Islam yang selaras atau dapat bernegosiasi dengan pembangunan (development) negara dan masyarakat. Pengalaman mengkampanyekan Islam moderat selama puluhan tahun yang dilakukan oleh PMII telah menjaga integritas nasional Indonesia dari berbagai isu sektarian (agama, etnik, dan golongan) yang berpotensi mengancam kedaulatan teritorial Indonesia dan konflik dalam skala massive di  masyarakat. Hingga kini, keberagaman di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang tanpa harus takut terhadap terjadinya homogenisasi oleh kelompok sektarian tertentu.
Selain itu, potensi lain yang bisa di maksimalkan PMII adalah menggelorakan lagi semangat Konferensi Asia-Afrika di mana Indonesia menjadi pionirnya, solidaritas Selatan-selatan, dan terintegrasinya masyarakat ASEAN pada tahun 2015.
Jika global-network dengan negara, civil society, institusi pendidikan, institusi agama, dan institusi budaya, dan berbagai asosiasi kepemudaan berhasil dilakukan maka PMII akan menjadi organisasi gerakan mahasiswa yang bervisi global dan mendapatkan banyak akses untuk terlibat secara aktif. Secara khusus, global-network dimanfaatkan untuk mendapatkan akses pendidikan, berupa beasiswa untuk up grading disiplin akademik, bagi kader-kader PMII dan membangun ikatan emosional serta kerjasama dengan organisasi kepemudaan di negara-negara tersebut.


[1] Arab spring tidak hanya sekedar mengganti rezim-rezim di Timur Tengah tetapi juga secara perlahan menghabisi kekuatan sosial-politik Islam Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja). Faksionalisasi kelompok Islam saat ini diarahkan hanya kepada dua kelompok wahabi atau salafi, yang kerap menyebut diri sebagai Sunni, dan Syi’ah.
[2] Multi-level strategy secara legal digunakan oleh PMII berdasarkan keputusan Muspimnas 2004 Nomor 09.MUSPIMNAS 2004.PMII.03.2004.
[3] Pada saat terjadinya krisis ekonomi global 2008-2009, ekonomi Indonesia berhasil bertahan bahkan menduduki peringkat atas dunia dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6.5 persen. Potensi ekonomi Indonesia terlihat dari data-data sebagai berikut. Jumlah penduduk hampir 250 Juta Jiwa (3.41%) yang merupakan negara dengan penduduk terbesar ke 4 di dunia atau sekitar 6% dari total penduduk Asia dan 42% dari keseluruhan penduduk di ASEAN. Indonesia memiliki kekuatan tenaga kerja sebesar 116.5 juta jiwa, tahun 2010, yang tersasar di bidang pertanian (38.3%), industri (12.8%) dan jasa (48.9%). Selain itu, rata-rata usia penduduk 28 tahun. Dari populasi keseluruhan, 70% diantaranya berusia kurang dari 40 tahun.
                Dilihat dari sisi pergerakan global, Indonesia adalah negara dengan pelabuhan tersibuk ke-12 di dunia dan merupakan peringkat ke-4 di ASEAN. International Air Transport Association (IATA) memperkirakan laju pertumbuhan penerbangan Indonesia, selama periode 2010-2014, dari penerbangan domestik bisa mencapai 10%/tahun sehingga pada 2014, jumlah penumpang domestik sebesar 38,9 juta orang (terbesar kesembilan di dunia), internasional 9,3%/tahun atau menduduki peringkat keenam di dunia sehingga pada 2014 jumlah penumpang internasional sekitar 22,7 juta orang. Kontribusi Indonesia dan negara di Asia-Pasifik mencapai 30% bagi lalu lintas penerbangan dunia pada 2014. Pada 2014, Amerika Utara hanya menyumbang 23%.
Tahun 2011 GDP Indonesia sebesar $823 billion. Meningkat cukup drastis hanya dalam waktu 2 tahun di mana pada tahun 2009 hanya sebesar $539 billion. Pertumbuhan ekonomi (annual growth) terus meningkat. Pada tahun 2009 (4.5%), 2010 (6.1%), dan 2011 (6.2%). Demikian juga dengan income per capita pada tahun 2010  sebesar $ 4,394. Di luar sumber daya manusia, potensi sumber daya alam Indonesia masih sangat besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar